Minggu, 08 September 2013

Sepotong Kata : RELAWAN MEDIS WANITA SAHABAT NABI

Hari ini kita sering mendengar kata kesetaraan gender. Sebuah frase yang dianggap menyudutkan Islam. seolah-olah Islam adalah keyakinan yang mendiskriminasikan gender. Padahal dari riwayat banyak kita mendengar kisah-kisah kehebatan wanita yang menjadi sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wassalam. Yang menjadi masalah apakah ada kesalahan interpretasi kaum muslimin sekarang atas peran serta kaum muslimah, sehingga terjadi kesan ada diskriminasi terhadap kaum wanita. Untuk itu marilah kita mencoba menelusuri jejak wanita hebat di jaman Nabi.

Namanya Ummu Kultsum, cucu dari Muhammad, Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam. Ibunya adalah penghulu wanita surga, Fathimah binti Rasulullah Muhammad. Ayahnya bernama Ali bin Abi Thalib, orang pertama yang memeluk Islam dari kalangan anak-anak. Orang keempat dari khulafa'ur rasyidin.

Suami Ummu Kultsum bernama Umar bin Khaththab. Seorang Amirul Mukminin dan khalifah kedua dari khulafa'ur rasyidin. Profesi Ummu Kultsum adalah membantu seorang ibu  melahirkan. Entah diberi nama apa sekarang, apakah dukun bayi, bidan atau dokter spesialis kebidanan tidak menjadi problem. Yang penting peran apa yang beliau lakukan dengan kemampuan ilmunya.

Syahdan, ketika Umar Bin Khaththab 'blusukan' ke perkampungan rakyatnya. Ini tentu saja tidak disertai para pengawal dan media massa. Sendirian. Tidak pakai baju dinas. Beliau menemukan seorang pria yang duduk termangu di depan tenda dipinggiran kota Madinah. Di dalam tenda suara rintihan wanita terdengar. Pria tadi menyatakan ia adalah seorang Badui yang datang mengharapkan kebaikan Amirul Mukminin. Dia tidak tahu bahwa yang didepannya adalah yang dia cari. Maklum saat itu belum ada koran, televisi atau media internet, sehingga wajah seorang Amirul Mukminin tidak banyak diketahui oleh rakyatnya. Dia berkata bahwa, di dalam tenda adalah istrinya yang hendak melahirkan dan tidak ada seorangpun yang membantunya. Di akhir pertemuan, laki-laki jelata tadi berkata kepada Umar, "Pergilah kamu! Semoga Allah merahmatimu dan jangan lagi menanyakan masalah yang bukan urusanmu!"

Mengakhiri 'blusukan' tengah malam. Umar segera menemui istrinya tercinta. "Maukah engkau mendapatkan pahala yang akan diberikan Allah kepadamu?" Istrinya menjawab, "Apakah kebaikan dan pahala, itu wahai Umar?" Umar pun menceritakan peristiwa yang baru dilihatnya itu kepadanya. Setelah mendengar penjelasan Umar, Ummu Kultsum segera bangkit dan mengambil perbekalan yang diperlukan untuk kelahiran bayi sejenis kotak atau tas perlengkapan medis begitulah. Sedangkan Umar memikul karung berisi minyak samin dan gandum. Selanjutnya, pergilah mereka ke kemah tersebut.

Sesampainya mereka di kemah itu, Ummu Kultsum segera masuk dan membantu perempuan tersebut dan melakukan tindakan medis. Menganamnese pasien, memeriksa palpasi, perkusi dan auskultasi. Dan segera menentukan fase persalinan. Menentukan grade pembukaan, melihat kontraksi ibu dan memastikan janin sehat.

Sedangkan diluar tenda, Umar dan suami wanita yang hendak melahirkan tadi, memasak roti dan minyak samin yang dibawanya dari rumah.

Ketika wanita itu telah melahirkan seorang bayi mungil (apa ada bayi yang tidak mungil?) dengan selamat. Ummu Kultsum berseru di dalam kemah; "Wahai Amirul Mukminin, berilah kabar gembira kepada temanmu itu bahwa Allah telah mengaruniainya seorang bayi laki-laki."

Orang Badui itu terperanjat. Ia tidak menyangka bahwa temannya memasak dan meniup api itu ternyata Amirul Mukminin. Istrinya di dalam kemah juga terkejut begitu mengetahui bahwa orang yang membantu proses kelahiran bayinya adalah istri amirul Mukminin.

Apa yang Umar tawarkan kepada istinya? Pahala! Bukan upah dirham atau dinar berupa jasa medis persalinan. Menolong persalinan tanpa pungutan biaya. Membantu yang lemah dan membutuhkan tanpa memikirkan untung rugi. Bagaimana dengan anda wahai para ibu bidan dan dokter spesialis kebidanan? Apakah anda menghitung para bumil (ibu hamil) dengan kalkulator pundi-pundi dunia? Anda yang berhak menilai diri anda sendiri.

Shafiyyah, namanya. Putri dari Abdul Muththalib. Dia adalah bibi Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam. Termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ikut berhijrah ke Madinah beserta anaknya Zubair bin Awwam.

Di Madinah, Shafiyyah menyaksikan dan turut serta berperan dalam menyebarkan agama Islam. Semangat jihad yang merasuk dalam dirinya mendorong Shafiyyah ikut dalam perang Uhud bersama rombongan kaum wanita untuk mengobarkan semangat keberanian kepada para mujahid dan merawat diantara yang terluka. Inilah tim pertolongan pertama yang didirikan oleh Rasulullah. Tim relawan medis pertama di wilayah perang yang dipimpin oleh seorang wanita! (Berabad-abad lamanya sebelum keberadaan seorang perawat Barat yang bekerja di medan perang.) Bekerja tidak kenal lelah menolong mujahid yang terluka. 

Bisa kita bayangkan persiapan logistic obat-obatan, tenda-tenda tempat merawat prajurit. Kesibukan tim medis melayani prajurit terluka. Ditengah-tengah gemerincingnya pedang beradu. Debu yang mengepul. Dan teriakan yang membakar. Sebuah simfoni merdu beraroma langit.

Di dalam perang Khaibar, Shafiyyah bersama wanita muslimah lainnya ikut serta mengobarkan semangat para mujahid. Mereka juga mendirikan kemah-kemah di garis belakang untuk mengobati pasukan kaum muslim yang terluka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam senang atas apa yang mereka lakukan sehingga beliau memberi mereka bagian dari harta rampasan perang.

Semua ini dilakukan Shafiyyah karena ibadah. Bukan mengharap pundi-pundi harta bernama upah medis.
Ini adalah wanita ketiga yang perlu dikenali dan diteladani oleh para relawa medis wanita. Bernama, Rumaisha Ummu Sulaim binti Milhan. Seorang wanita Anshar dari suku Khazraj. Termasuk wanita Anshar angkatan pertama yang memeluk Islam. Dia tidak menghiraukan kemungkinan akan menghadapi gangguan dari masyarakat jahiliyah penyembah berhala.

Peran Ummu Sulaim dalam menyebarkan Islam tidak hanya dengan lisan, bahkan ia juga ikut terjun ke medan jihad bersama para pejuang Islam. Dia menunjukkan sikap keperwiraannya di dalam perang Hunain. Dalam perang tersebut ia tidak hanya bertugas memompa semangat juang para mujahidin dan mengobati pasukan yang terluka, tapi juga siap mempertahankan dirinya dan menghadapi musuh yang menyerangnya.

Dalam Shahih Muslim dan At-Thabaqaat disebutkan bahwa pada perang Hunain, Ummu Sulaim membawa sebuah belati. Abu Talhah yang melihatnya melapor: "Wahai Rasulullah, itu Ummu Sulaim membawa belati." Ummu Sulaim berkata ; "Wahai Rasulullah, jika ada seorang musyrik yang mendekatiku maka aku akan menusuk perutnya dengan belati itu."

Anas berkata ; "Ummu Sulaim dan wanita-wanita Anshar pernah ikut perang bersama Rasulullah . Merekalah  yang memberi minum kepada pasukan  dan mengobati  orang-orang yang terluka."

Di jaman modern ini, akhirnya dibuat aturan hukum perang internasional yang membolehkan tim medis untuk membawa small arms untuk membela diri. Small arms sejenis AK-47, pistol, dan yang setipe. Tidak disangka itu sudah dipraktikkan oleh Ummu Sulaim, relawan medis wanita di wilayah perang di jaman Nabi.

Tiga kisah wanita sahabat Nabi ini, mudah-mudahan selalu menjadi inspirasi bagi siapapun yang bergerak di bidang medis. Hanya mengharap pahala atas pengamalan ilmunya. Melayani tanpa memilih, mengobati tanpa imbalan. Dan tidak akan lari dari medan perang. (dr. Sunardi)


  • Majalah Hilal Ahmar | 64/IX/MAR2013 | Sepotong Kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar