Selasa, 10 September 2013

Sehat Khusus : SINDROM HIPERVISKOSITAS


Bila Darah Menjadi Kental

Darah merupakan cairan tubuh khusus yang terdiri dari sel darah yang tersuspensi dalam plasma darah. Plasma mengisi 55% dari tubuh, yang terdiri dari air (90%), produk lain (8%) seperti : protein, glukosa, mineral, hormon, ion, CO, dan sel darah. Sel darah terdiri dari eritrosit, leukosit, dan trombosit. Komponen lain yang ada dalam plasma adalah albumin serum, faktor koagulasi, imunoglobulin, elektrolit (terutama Na,Cl). Viskositas darah merupakan suatu keadaan tahanan terhadap aliran darah akibat gesekan lapisan darah yang berjalan sepanjang sumbu pembuluh darah kerena adanya perbedaan kecepatan aliran.


Hiperviskositas adalah berbagai keadaan dimana terjadi peningkatan viskositas darah ditandai dengan peningkatan hematokrit (Ht) atau peningkatan kadar komponen plasma yang bersirkulasi. Peningkatan yang nyata dari plasma protein seperti monoclonal imunoglobulin pada myeloma atau komponen selular seperti sel darah putih pada leukemia akan meningkatkan viskositas darah secara keseluruhan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan pada mikrosirkulasi yang menimbulkan manifestasi klinis.

Sindrom hiperviskositas (SHV) pertama kali dideskripsikan oleh Jan Waldenstrom pada tahun 1944 berdasarkan laporan kasus dari 3 pasien yang dilaporkan olehnya, dimana makroglobulinemia berkaitan dengan peningkatan viskositas serum bahkan peningkatan tersebut lebih awal daripada yang terjadi pada kodisi myelomatosis. Sindrom ini terdiri dari perdarahan pada membran mukosa, retinopati dengan gangguan penglihatan, dan berbagai macam kelainan neurologi.  Sejak penemuan awal ini gambaran klinis dari makroglobulinemia banyak ditemukan  sebagai konsekuensi  peningkatan viskositas plasma. Pada tahun 1965, Fahey dkk mendefinisikan kondisi tersebut sebagai sindrom hiperviskositas (SHV). 

Definisi

Sindrom hiperviskositas didefinisikan sebagai kombinasi dari gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik dengan peningkatan viskositas serum menggunakan viskosimetri ostwald pada pemeriksaan laboratorium. Dalam istilah yang lebih praktis sindrom hiperviskositas adalah kumpulan gejala yang dipicu oleh peningkatan viskositas darah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas darah

Viskositas darah utuh dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hematokrit, suhu, dan aliran darah. Hematokrit sangat penting dalam mempengaruhi viskositas darah utuh, dimana bila kadar hematokrit meningkat maka juga akan terjadi peningkatan viskositas darah utuh. Temperatur juga sangat mempengaruhi viskositas darah utuh karena bila suhu menurun maka viskositas darah akan meningkat yang akan berakibat menurunnya aliran darah melalui mekanisme neural-mediated thermoregulatory. Sedangkan pengaruh aliran darah terhadap viskositas darah yaitu pada keadaan aliran darah sangat lambat maka akan terjadi peningkatan viskositas darah yang sangat signifikan seperti pada syok. Hal ini terjadi karena pada keadaan aliran darah yang lambat akan terjadi peningkatan interaksi adhesi antar sel dengan sel atau sel dengan protein sehingga eritrosit akan melekat satu sama lain dan menyebabkan peningkatan viskositaas darah.

Penyebab

penyakit-penyakit pada orang  yang sering berkaitan dengan kondisi hiperviskositas antara lain:
  • Infeksi akut dan kronis seperti : pneumonia, tuberkulosis, dan HIV
  • Infark miokard
  • Waldenstroms Makroglobulinemia
  • Myeloma
  • Penyakit jaringan ikat seperti : artritis rheumatoid
  • Sindrom paraneoplastik, akibat dari kadar imunoglobulin, cryoglobulin, dan paraprotein yang tinggi dalam sirkulasi.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari sindrom hiperviskositas bervariasi antara individu yang satu dengan yang lain. Pada banyak kasus kadar viskositas dapat diprediksi dari gejala klinis yang muncul atau menyertai akibat peningkatan viskositas darah. Trias klasik dari HVS terdiri dari perdarahan, gangguan penglihatan, dan gangguan neurologis fokal. Selain itu berbagai macam kelainan organ yang lain juga dapat dilihat pada HVS. Gejala-gejala yang muncul biasanya berhubungan dengan gangguan atau kegagalan aliran darah di  sirkulasi mikro.
  • Gejala sistemik
Pasien sering mengeluh lemah, mudah lelah, malas, pusing dan gejala-gejala lain yang menyerupai anemia. Adanya perdarahan yang muncul dari permukaan mukosa meliputi epistaksis, perdarahan gusi, dan perdarahan gastrointestinal akibat dari gangguan fungsi platelet. Gagal ginjal juga pernah dilaporkan pada pasien HVS, akan tetapi lebih sering terdapat pada myeloma. Mekanisme terjadinya gagal ginjal pada HVS kemungkinan berkaitan dengan hipoperfusi glomeruli pada tingkat pre renal. HVS juga merupakan salah satu penyebab terjadinya gangren yang simetris pada ekstremitas.
  • Gejala visual
Manifestasi okular dari sindrom hiperviskositas telah dikenali selama bertahun-tahun. Gangguan penglihatan yang sering terdapat pada HVS meliputi pandangan kabur, kehilangan penglihatan dekat, dan diplopia. Onset dari gejala ini biasanya bersifat bertahap dan sementara. Pasien sering mengeluh pandangan kabur yang hilang timbul ketika membaca majalah atau buku. Kadang-kadang tajam penglihatan dapat terganggu secara tiba-tiba dan buta total dapat terjadi. Retina pada pasien-pasien dengan HVS juga mengalami kelainan, yang paling sering didapatkan yaitu berupa trombosis, mikrohemoraghi, eksudat, dan papil edema. Kelainan ini dapat diamati secara langsung dengan menggunakan funduskopi dimana pada kelainan yang lebih berat didapatkan gambaran konstriksi  "sausage-like"  pada distensi vena di persilangan arteri-vena retina.
  • Gejala neurologis
Tanda maupun gejala-gejala neurologis sangat sering didapatkan pada SHV. Pasien sering mengeluh pusing, vertigo, gangguan pendengaran dan penglihatan, nistagmus, tinitus, ataksia dan episode iskemik sementara. Gangguan kesadaran seperti somnolen bahkan koma juga pernah dilaporkan pada pasien SHV. Gejala neurologis lain yang dapat muncul dengan intensitas yang lebih jarang yaitu gejala-gejala piramidal dan neuropati perifer.

Diagnosis

Penegakan diagnosis pada sindrom hiperviskositas (SHV) harus didasarkan pada manifestasi klinis dan pemeriksaan penunjang (viskositas).  Dari gambaran klinis dapat kita temukan trias klasik penderita SHV berupa perdarahan, gangguan penglihatan dan gangguan neurologis. Pemeriksaan laboratorium yang penting dalam menegakkan diagnosa SHV yaitu pemeriksaan kadar viskositas baikitu serum atau plasma maupun darah. Peningkatan viskositas serum lebih dari 4 kali dari normal (1,4-1,8 cp) menimbulkan manifestasi klinis dari SHV. Dalam pengukuran kadar viskositas ini terdapat perbedaan pendapat mana yang paling baik antara viskositas darah dengan plasma, akan tetapi ada penelitian yang menyebutkan bahwa pemeriksaan viskositas darah lebih superior daripada viskositas serum atau plasma. Hal ini dimungkinkan karena viskositas darah juga dipengaruhi oleh kadar hematokrit dan agregasi dari eritrosit sehingga perubahan pada kedua komponen tersebut juga berpengaruh terhadap perubahan viskositas. Kadar viskositas darah 55% atau lebih meningkatkan resiko untuk terjadi SHV.

Pemeriksaan laboratorium sebaiknya juga meliputi pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis sel darah, kimia serum, dan faktor koagulasi. Proteinuria yang signifikan pada urinalisa dan peningkatan rasio albumin-protein mendukung ke arah gamopati. Kadang-kadang, pada pemeriksaan laboratorium akan didapatkan gambaran rouleaux formation pada apusan darah tepi karena terjadi gumpalan viskositas serum. Viskositas serum juga meningkat pada pasien-pasien dengan paraprotienemia seperti : makroglobulinemia, IgA myeloma, IgG3 myeloma dan semua pasien dengan kadar paraprotein serum diatas 80 g/l. Pemerriksaan retina juga merupakan komponen yang penting dalam menegakkan diagnosis SHV.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien-pasien dengan sindrom hiperviskositas yang utama harus didasarkan pada beratnya tanda dan gejala. Terapi SHV dapat dilakukan melalui 4 tahapan : terapi suportif, terapi penggantian plasma (plasma exchange), plasmapharesis, dan kemoterapi untuk penyakit hematologi penyerta.
  • Terapi suportif
Pasien-pasien dengan SHV dapat mengalami dehidrasi walaupun dengan kondisi gagal jantung high output. Pada kondisi tersebut resusitasi cairan harus segera diberikan dan menghindari penggunaan diuretik. Gangguan elektrolit juga harus dikoreksi dimana yang paling sering terjadi gangguan pada natrium. Pemberian antibiotik pada pasien dengan SHV diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan kuat adanya suatu proses infeksi.          
  • Terapi pengganti plasma (plasma exchange)
Ketika pasian dengan sindrom hiperviskositas datang ke unit gawat darurat, salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi kegawatan yaitu dengan terapi penggantian plasma. Prosedur ini meliputi phlebotomi 1 atau 2 unit darah dan secara simultan volume yang keluar digantikan dengan normal saline. Terapi ini terbukti secara efektif dan beberapa ahli percaya bahwa terapi penggantian plasma lebih efektif bila dibandingkan dengan plasmapharesis dalam menurunkan viskositas serum pada pasien dengan waldenstorm makroglobulinemia. Bagaimanapun juga, penggantian plasma secara agresif dapat menurunkan trombosit, faktor-faktor pembekuan dan albumin.

Terapi penggantian plasma darurat diindikasikan bila pasien terdapat gangguan neurologis berat seperti kejang maupun koma. Pengukuran imunoglobulin sebelum dan sesudah terapi penggantian plasma dapat membantu untuk terapi selanjutnya dalam perawatan di rumah sakit. Molekul IgA dan IgG mempunyai distribusi volume yang lebih tinggi dibandingkan dengan IgM pada WM sehingga terapi penggantian palsma dapat dilakukan lebih agresif pada pasien-pasien dengan kondisi myeloma jenis ini.
  • Plasmapharesis
Plasmapharesis merupakan terapi definitif dari sindrom hiperviskositas. Sebagai catatan, IgG dan IgA yang berkaitan dengan sindrom hiperviskositas memerlukan terapi plasmapharesis yang lebih lama dan sering dibanding kondisi yang lain. IgM yang ditemukan pada waldenstorm makroglobulinemia paling banyak terdapat di intravaskuler sehingga lebih mudah untuk dibersihkan.                       

Sebagaimana telah diketahui bahwa paraproteinemia merupakan komponen yang penting dalam menyebabkan hiperviskositas, sehingga jumlah yang berlebihan dari paraprotein dapat dikurangi atau dikoreksi secara efektif dengan metode plasmapharesis. Penurunan konsentrasi paraprotein akan berakibat pula pada penurunan viskositas serum, dan diikuti oleh perbaikan tanda dan gejala klinis dari pasien. Komplikasi mayor dari plasmapharesis yaitu hipokalsemia berhubungan dengan pengikatan citrat dari perangkat plasmapharesis secara otomatis. (dr. Safir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar