Senin, 15 Agustus 2011

MENGIKUTI HAWA NAFSU


MENGIKUTI HAWA NAFSU


Penyakit yang merusak sebagian penggiat amal Islam tidak lain karena mengikuti hawa nafsu (ittiba’ul-hawa). Oleh karenanya, bagi yang terkena fitnah nafsu ini secepatnya membersihkan dan mensucikan diri. selain itu, berusaha pula untuk membentengi dari gejolak dan bahayanya.

Definisi

Adapun pengertian hawa nafsu adalah :

  1. Kecenderungan jiwa kepada yang diinginkan.
  2. Kehendak jiwa terhadap yang disukai.
  3. Kecintaan manusia terhadap sesuatu hingga mengalahkan hatinya (qalbunya).
  4. Suka atau asyik terhadap sesuatu kemudian menjadi isi hatinya (qalbunya).

Jadi secara bahasa mengikuti hawa nafsu ialah berjalan di belakang mengikuti keinginan nafsu. Sedangkan menurut syara’ mengikuti hawa nafsu (ittiba’ul-hawwa) ialah berjalan di belakang kehendak nafsu dan ambisinya tanpa pengendalian akal. Bahkan terkadang tidak rasional atau tanpa selaras dengan syara’ dan tidak diperhitungkan akibatnya.

“Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.” (An Nisa’ 135).

“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Shad 26).
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat (nya).” (An-Naziat 40-41).

“Orang yang baik ialah orang yang bisa menghitung dirinya (interospeksi) dan beramal untuk (bekal) sesudah mati. Sedangkan orang yang gagal adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada pemberian Allah.” (HR. At Tirmidzi).

“Sesungguhnya akan keluar dari kalangan umatku kaum yang berlari bersama hawa nafsunya seperti anjing bersama tuannya.” (HR. Abu Daud).

Hawa nafsu menjadi baik jika ia mengikuti atau sesuai dengan syari’at Islam, sesuai dengan hukum dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti yang dinyatakan dalam hadits Nabi :

“Tiadalah sempurna keimanan seorang mukmin sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. Ibnu Umar).

Sebab-sebab ittiba’ul hawa

  1. Sejak kecil tidak terbiasa mengatur hawa nafsu. Sebab, terlalu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Kedisiplinan itu sesuatu yang bisa dipelajari. Dan bila sejak kecil sudahbiasa hidup teratur atau disiplin, maka ia akan lebih mampu danlebih kokoh mengatasi masalah yang mendadak.
  2. Suka bergaul dengan orang-orang yang mengumbar hawa nafsu dan berteman akrab dengannya. Sebab hal itu bisa mendorongnya meniru mengumbar hawa nafsu.
  3. Lemahnya pengenalan/ma’rifat kepada Allah dan hari akhir.
  4. Kurangnya menjalankan kewajiban terhadap para pengumbar hawa nafsu. Maksudnya, masyarakat masih berbuat baik kepada para pengiktu hawa nafsu. Masih banyak yang bersikap diam,tanpa melakukan aksi. Sehingga, orang yang dikuasai hawa nafsu tadi tetap berjalan terus. Inilah rahasi, kenapa Islam selalu melawan kemungkaran meski harus dengan berbagai cara dalam menghadapinya.
  5. Cinta dunia dan lupa akhirat. Sesungguhnya, orang yang mencintai dunia dan lupa akhirat, akan senantiasa menyambut setiap seruan yang mengarah kepada masalah keduniaan. Meskipun diusahakan dengan jalan yang bertentangan dengan syari’at Allah dan Rasul-Nya.
  6. Jahil atau bodoh terhadap akibat-akibat ittiba’ul hawa.

Dampak ittiba’ul hawa

Mengikuti hawa nafsu bisa berdampak negatif, membahayakan dan bahkan bisa mencelakakan terhadap para penggiat amal Islam.

Adapun dampak negatif tersebut, adalah :

  1. Dampak terhadap penggiat amal Islam itu sendiri.

  1. Hilangnya sifat taat dari dirinya.

Sesungguhnya, orang yang mengikuti hawa nafsu akan bersikap kaku, bahkan congkak, tidak mau taat kepada Allah.

  1. Menimbulkan penyakit hati, angkuh dan menjadi mati.

Seorang hamba nafsu akn tenggelam ke dalam kemaksiatan, dari ujung kepala hingg ujung kaki, hingga menimbulkan bekas yang buruk dan berbahaya pada hatinya (qalbunya). Sehingga bisa menjadi penyakit.

  1. Hina dengan dosa-dosa

Manusia yang telah menjadi budak nafsu, yang telah beku dan kaku hatinya, yang telah mati perasaannya akan menjadi terhina. Dia menjadi orang yang tidak peduli terhadap dosa dan maksiat.

  1. Tidak menerima nasihat dan petunjuk

Sungguh, tidaklah bakal ada kebaikan dalam suatu masyarakat apabila tidak saling menasihati, memberi petunjuk dan menerima petunjuk. “Maka jika mereka tidak menyambut panggilanmu, ketahuilah bahwa mereka itu hanya mengikuti hawa nafsunya belaka.” (Al Qashash 50).

  1. Melakukan bid’ah dalam agama Allah.

Sesunggguhnya budak hawa nafsu itu lebih dekat kepada perbuatan yang membahayakan. Mereka tidak menyukai manhaj Allah. Dan agar apa yangmenjdai kecenderungan nafsu mereka bisa terlaksana, maka mereka melakukan perbuatan bid’ah (mengada-ada) dalam urusan agama. Mereka membuat aturan-aturan sendiri, diluar peraturan Islam. Asalkan sesuai  dengan hawa nafsu atau selera mereka.

  1. Sesat dan tiadanya hidayah kepada jalan yang lurus.

Orang yang mengikuti hawa nafsu sangat mudah diperlakukan oleh syahwat dan berbagai keinginannya. Maka, diapun akhirnya bersikap menyimpang dari petunjuk dan taufiq.

  1. Menyesatkan manusia, menjauhkan darijalan-Nya.

Bahaya lain yang ditimbulkan pelaku yang mengikuti hawa nafsu,yaitu bisa menular kepada orang lain sehingga menambah jumlah para pelaku ittiba’ul hawa.

  1. Masuk jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.

Akhir dari berbagai dampak buruk para pelaku ittiba’ul hawa yaitu tempat kembalinya adalah jahanam. “Adapun orang yang melampui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (An Naziat 37-39).


  1. Dampak terhadap amal Islam.

  1. Lemahnya mencari generasi baru pembela Islam.

Hal ini bisa terjadi bila amal Islami hanya tegak dipundak dan cenderung untuk ittiba’ul hawa. Akhirnya menutup pintu atau menghalangi generasi penerus pembela Islam. Pada saat tiada lagi teladan yang mampu mendorong untuk menyusulnya berkorban, membantu melangkahkan kaki ke depan dan mengarahkan kepada perjalanan panjang.

  1. Memecah belah kesatuan barisan.

Kesatuan barisan amal Islam bila berhadapan dengan para budak hawa nafsu, maka akan berakhir dengan perpecahan dan robeknya barisan. Hal ini disebabkan kelemahan dan tiadanya prinsip ketaatan pada mereka. Dan pada saat perpecahan itu melanda, maka amal Islami akan menjadi santapan segar bagi musuh-musuh Islam.

  1. Tidak mendapat pertolongan dan kekuatan Ilahi.

Telah menjadi sunatullah terhadap makhluk-Nya, bahwa Dia tidak akan memberikan pertolongan kecuali jika mereka memang patut untuk memperolehnya. Hingga, jika Dia menguatkannya maka menjadi kokohlah kedudukannya.


Terapi terhadap hawa nafsu

  1. Memperingatkan dan memberi pengertian kepada pengikut hawa nafsu tentang akibat-akibat yang bisa ditimbulkan lantaran mengikuti hawa nafsu. Baik bagi penggiat amal Islam itu sendiri maupun bagi amal Islam. Hal itu merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan dalam upaya melepaskan diri dari jeratan hawa nafsu dan syahwat. Semua itu tentu saja harus sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
  2. Harus memutuskan hubungan dengan budak hawa nafsu dan syahwat, yakni dengan cara bergabung dengan orang-orang shaleh dan istiqomah. Hal ini tentu saja akan memerdekakan jiwa dari hawa nafsu.
  3. Mengenal Allah dengan sebaik-baik pengenalan. Hal itu akan menumbuhkan dalam jiwa perasaan cinta kepada Allah serta perasaan untuk senantiasa mengagungkan-Nya. Bahkan, dengan itu, akan tumbuhlah rasa takut kepada-Nya dan tumbuh pula rasa harap untuk masuk ke surga-Nya, rasa harap utnuk memperoleh ridha-Nya dan takut terhadap siksa neraka-Nya.
  4. Adanya pengertian dan perhatian dari orang-orang terhadap mereka yang tengah dikuasai hawa nafsu. Menampilkan perilaku yang baik dihadapannya. Melakukan teguran langsung secara sopan dan bijaksana. Atau bisa juga dengan menjauhinya untuk sementara waktu.
  5. Menghalangi jalan yang ditempuh para pengikut hawa nafsu serta menghukumnya. Baik mereka itu termasuk muslim maupun bukan muslim.
  6. Menampilkan kisah-kisah orang terkenal yang patut diteladani.
  7. Waspada dari kecenderungan terhadap dunia. Bagi seorang muslim,s emua pemberian Allah dikaitkan guna mencari rumah di akhirat kelak. Dia tidak melupakan kepentingannya di dunia, meskipun dia lebih mengutamakan kepentingannya di akhirat.
  8. Memohon pertolongan kepada Allah, bersandar kepada-nya, memohon perlindungan-Nya, serta memohon jalanyang lurus.
  9. Memerangi dan merubah jiwa secara sungguh-sungguh dalam rangka membebaskan diri dari belenggu syahwat dan hawa nafsu.
  10. Ingatlah,  bahwa kebahagiaan, kesenangan, ketenteraman dan kemenangan penggiat amal Islam adalah mengikuti hukum dan segala ketentuan Allah. Bukan mengikuti apa yang diinginkan oleh nafsunya.

Referensi : Terapi Mental Aktifis Harakah, Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Pustaka Mantiq, Solo, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar