Senin, 15 Agustus 2011

MENGHINDARI BENCANA KOTA


MENGHINDARI BENCANA KOTA

Bulan januari 2011, setelah hampir dua bulan membantu pengungsi korban letusan gunung Merapi di Magelang, kami terlibat diskusi dengan teman-teman berkaitan dengan trend bencana di tahun 2011. Sebuah buku terbitan International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies, yang bertajuk World Disasters Report 2010 Focus on urban risk, menjadi tema pembicaraan.

Sebuah buku yang membicarakan tema Menghindari bencana kota; Tren bencana kota; Hak komunitas dan tanggap paska bencana; Kekerasan Urban; Resiko Urban bagi Kesehatan; Urbanisasi dan resiko perubahan iklim; Peraturan pemerintah dan pengurangan resiko bencana.


Karena bencana kota merupakan sebuah kemungkinan, maka kami tertarik untuk berbagi dengan pembaca mengenai  tema menghindari bencana kota. 

Mungkin bagi sebagian orang, hal ini aneh, karena kita seolah-olah sedang membicarakan kemungkinan terjadinya bencana di perkotaan. Entah di Jakarta, Medan, Surabaya, Semarang, Makasar, atau kota besar lain yang padat penduduknya.

Tsunami Aceh pada tahun 2004 telah menelan korban lebih dari 200 ribu jiwa. Korban berasal di tepi pantai dari ujung barat sampai timur Aceh. Wilayah yang banyak korbannya tentu saja di wilayah yang padat penduduknya.  Sedangkan di wilayah pedesaan, korban lebih sedikit.

Gempa di Jawa Tengah dan Yogyakarta juga menimpa wilayah pedesaan, meskipun penduduknya juga padat, namun karena model rumah yang memiliki halaman, struktur rumah yang sebagian kayu, dan rumah tidak berhimpitan, sehingga ketika terjadi bencana penduduk masih bisa memanfaatkan lingkungan rumah untuk mengungsi. Dan sarana dan prasarana yang belum lengkap di desa menyebabkan tidak banyak mengganggu aktifitas penduduk.

Gempa di Jawa Barat dan Sumatera Barat, selain menimpa perkotaan juga desa. Namun lebih banyak mengenai desa. Sedangkan di kota hanya wilayah tertentu yang terkena.

Letusan gunung Merapi juga mengenai wilayah pedesaan. Tidak sampai menghajar kota Yogyakarta. Kota kecamatan Muntilan di Magelang yang terkena dampak letusan lumpuh selama beberapa hari karena seluruh infrastruktur kota rusak. Dari listrik, air bersih, jalan, jembatan, toko tutup, pasar tutup dan seluruh kantor pemerintah juga tutup.

Sekarang ini, dampak bencana lahar dingin gunung Merapi melanda kecamatan Salam di Magelang. Banyak rumah hancur setelah terkena banjir lahar dingin. Sebagian hancur total lainnya rusak sedang. Akhirnya penduduk sekitar aliran sungai harus mengungsi, menempati tenda sementara dan menunggu pembangunan rumah sementara yang dibuat dari bambu. Dan problem besar memang mengenai sumber penghasilan, yang berupa rusaknya sawah dan ladang, dan perbaikan rumah.

Pada awal tahun 2010 ada dua gempa bumi dahsyat menimpa benua Amerika. Skala 8,8 richter gempa terjadi di Chile, menyebabkan kerusakan yang luas bangunan rumah namun korban tidak terlalu banyak, hanya ratusan. Diikuti dengan gempa yang lebih kecil skalanya di Port-au-Prince, kota besar di Haiti dan menyebabkan lebih dari 200.000 warga meninggal dan hampir 1 juta orang kehilangan tempat tinggal.

Karena itu konsentrasi manusia di pusat urbanisasi dapat menurunkan atau menaikkan dampak bencana, kesenjangan dari dampak dari dua bencana dapat dijelaskan karena penyiapan penanggulangan bencana yang berbeda dan kualitas rumah, infrastruktur dan pelayanan.

Lebih lanjut diperlukan perhatian kepada resiko urban di dunia dimana urbanisasi terjadi secara cepat dan tempat dimana, untuk pertama kalinya, lebih dari separuh populasi dunia tinggal di perkotaan. Lebih dari 1 milyar penduduk tinggal di area urban (padat penduduk di pinggiran kota) dan jumlahnya terus bertambah. Dan populasi ini yang keperluaan dasar tidak selalu tersedia, yang paling banyak mengalami resiko banjir, gempa bumi, angin topan, penyakit infeksi, kejahatan, kebakaran, kecelakaan transportasi dan industri.

Kenapa fokus pada wilayah urban?

Meskipun fokus pada wilayah urban, tidak berarti urban dan wilayah pedesaan terpisah. Semua bencana mempunyai dampak pada wilayah desa dan kota. Terlalu banyak hubungan antara kota dan desa berkaitan dengan bencana. Seperti contoh, bencana dipedesaan akan mengganggu pusat kota yang mensuplai makanan, bahan bakar, air atau barang kebutuhan lainnya, sementara bencana di wilayah kota akan menganggu suplai makanan dan jasa petani.

Namun wilayah urban perlu dipisah terkait dengan karakternya-kepadatan penduduk, perumahan dan bangunan lainnya, infrastruktur transportasi dan industri- menghadirkan baik problem dan kesempatan bagi pengurangan resiko bencana dan bantuan kemanusiaan. Di negara miskin atau berkembang, terdapat banyak “penguasa” di wilayah urban dibanding di wilayah desa, karena populasi penduduk yang menjadi subjek aturan dan pengaturan. Terdapat juga lebih banyak tekanan pasar di wilayah urban, terutama di kota besar dimana kelompok berpenghasilan rendah berjuang menemukan pelayanan akomodasi dan kesehatan yang mereka butuhkan dan resiko kenaikan harga dan hilangnya penghasilan. 

Populasi penduduk di wilayah urban memerlukan pertimbangan yang sederhana untuk skalanya :
- Pada tahun 2010, terdapat2,5 milyar penduduk urban yang memiliki pendapaatn rendah dan menengah, ini hampir sama dengan penduduk dunia pada tahun 1950.
- Afrika, biasanya dianggap dominant pedesaan, namun populasi urban sekarang lebih banyak dibandingkan Amerika Utara.
- Banyak kota besar di dunia terdpat di negara berpenghasilan rendah dan menengah.

PBB memperkirakan kekurangan air dan sanitasi. Perkiraan tahun 2000 paling tidak 680 juta  penduduk urban  kesulitan air bersih dan paling sedikit 850 juta kekurangan toilet untuk mengurangi resiko kesehatan. Sejak tahun 2000, populasi penduduk urban di negara yang penghasilannya rendah dan menengah telah meningkat lebih dari 500 juta. Sedikit negara yang telah berhasil memperbaiki kondisi tersebut, ini berarti masih ada ratusan juta penduduk urban yang hidup dalam kemiskinan dan kekurangan air bersih serta sanitasi.

Kemiskinan penduduk urban dengan resiko bencana sering seperti kembaran. Kejadian wabah penyakit yang membunuh atau luka serius penduduk atau kerusakan atau pemusnahan property diklasifikasikan sebagai bencana jika melebihi batas tertentu untuk orang yang terbunuh (rata-rata 10 atau lebih) atau luka yang serius (100 orang atau lebih). Diseluruh wilayah urban banyak terjadi kejadian yang terbunuh atau luka serius lebih sedikit orangnya, seperti kecelakaan lalu lintas dan kejadian kebakaran. Kemiskinan penduduk urban secara dramatis akan meningkaktan kematian premature dan luka serius berkaitan dengan bencana, kepadatan rumah, kekurangan infrastruktur dan pelayanan. Sebagai contoh, kesulitan akses jalan raya akan menghentikan mobil pemadam kebakaran untuk mencapai tempat yang terkena kebakaran, yang menyebabkan meluasnya rumah yang terbakar.

Hubungan antara kemiskinan urban dan resiko bencana meningkat karena perubahan iklim. Sepuluh juta penduduk urban akan menghadapi resiko yang mengancam jiwa dari meningkatnya intensitas badai, banjir, dan gelombang panas karena perubahan iklim. Juga mengancam mata pencaharian, asset dasar seperti rumah, kualitas lingkungan dan masa depan. Di sini, banyak orang dan negara yang sedikit memberi kpontribusi pada pemanasan global (global warming) namun menghadapi resiko yang paling besar. Perubahan cuaca dikendalikan oleh emisi gas greenhouse (efek rumah kaca). Tanpa persetujuan global yang berhasil mengurangi emisi gas greenhouse secara dramatis sepanjang dekade ke depan, terjadi peristiwa cuaca yang ekstrim dalam jumlah dan skala, banjir tepi pantai (rob), dan kekeringan tanah pertanian dan supali air bersih  akan meningkat pada daerah urban dan desa yang kesulitan untuk beradaptasi.

Urbanisasi dan resiko bencana

Kerawanan bukan dihasilkan oleh resiko bencana itu sendiri. Namun, mengapa ini terjadi, pada banyak negara dan pusat urban, kematian, luka, dan kehilangan rumah karena bencana lebih besar diantara kelompok rawan? Kerawanan tidak sama dengan kekurangan pendapatan, namun kekurangan pendapatan juga berarti kekuarangan akses rumah yang aman dengan ketersediaan air bersih dan sanitasi, pelayanan kesehatan, pendidikan dan kemampuan untuk pulih. 

Di negara maju, kepadatan penduduk, bangunan, motor dan mobil dan limbah industri dikota tidak secara umum dikaitkan langsung dengan resiko bencana yang lebih besar. 

Dampak bencana di wilayah urban dan rural (desa)

Bencana menyebabkan dampak di wilayah rural (desa) seperti kematian, luka yang serius, dan kerusakan. Ini mungkin sederhana karena sebagian besar orang tinggal dan bekerja di desa. Ini berbeda dengan di kota dengan kesenjangan kerawanan yang terjadi menyebabkan perhatian yang lebih  pada resiko bencana di wilayah urban dan ini berakibat pada perkembangan dan pengurangan resiko bencana. Kesenjangan kerawanan ini dihasilkan dari dua faktor : kurangnya pengetahuan dan kemampuan keuangan (dan kadang-kadang niat baik) dari otoritas wilayah urban untuk mengurangi resiko dan kerawanan. Dan proporsi besar komunitas urban terbatas kemampuan untuk mengurangi resiko karena pendapatan yang tidak cukup, terbatasnya pengaruh politik, naiknya harga dan praktik korupsi yang terjadi wilayah urban tersebut.

Prioritas pengurangan resiko bencana tergantung bagaimana pandangan kita tentang bencana. Jika bencana dipandang dengan tema dampak ekonomi, daftar kota yang rawan di dominasi oleh kota sejahtera di negara yang berpenghasilan tinggi. 

Kota di negara yang berpenghasilan rendah menghadapi derajat resiko tinggi bukan dikarenakan nila moneter asset yang terpapar, namun karena infrastruktur yang tidak memadai atau inadekuat, kualitas rumah yang jelek, dan kelemahan institusi kota. Rakyat miskin akan kehilangan segala-galanya karena bencana.

Rumah dan bencana kota

Statistik resmi dampak bencana menyatakan bahwa kerusakan rumah  dan asset lainnya sangat serius terjadi di negara yang berpenghasilan tinggi. Namun di negara yang berpenghasilan rendah kerusakan terjadi terkait jumlah rumah yang terkena dan berapa banyak dia terkena.

Setiap tahun, jutaan rumah terkena kerusakn dan kehancuran karena bencana. Sebagai contoh, pada tahun 2007, banjir terjadi di Asia selatan dan Asia tenggara, dan di Negara Afrika Barat dan Timur, sementara badai memicu banjir di Nicaragua. Pola ini terulang pada tahun 2008, dari musim badai di Karibia sampai siklon di Myanmar dan Banglades, dan bencana gempa di Sichuan Cina. Pada tahun 2009, jutaan terkena dampak gempa di Sumatera, dan banjir di India dan Pilipina.

Ketika anggota keluarga memperbaiki rumah yang rusak, mereka meningkatkan nilai asset dan kapasitas untuk melindungi dari bahaya. Ini juga berarti mereka memperoleh akses pendapatan dan pelayanan.- di wilayah urban, lokasi ini berkaitan dengan kemudahan memperoleh penghasilan dan pelayanan sering lebih penting dibanding ukuran, kualitas dan legalitas di negara yang berpenghasilan rendah.

Di wilayah urban terdapat dua tantangan yang spesifik terkait perumahan. Pertama, di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, harga tanah untuk rumah biasanya lebih mahal dibanding di desa. Juga terdapat aturan resmi dan regulasi pemerintah yang membatasi penggunaan tanah untuk perumahan. Ini menyebabkan begitu banyak penduduk wilayah urban  di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah tinggal ditanah yang illegal. Kedua, rumah bukan hanya tempat tinggal namun akses pendapatan dan akses pelayanan, dan karena pendapatan yang terbatas , lokasi rumah penting untuk dekat dengan tempat kerja dan sekolah anak-anak. 

Apa yang anda lakukan setelah bencana

Tanggap bencana seharusnya memusatkan pada keperluan dan prioritas yang terkena bencana. Di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah, sedikit pemilik rumah yang menjamin membantu membangun kembali dan rekonstruksi dan banyak orang terbatas tabungan dan asset sampai mereka bekerja kembali. Sehingga membantu mereka yang terkena bencana kembali mendapat kerja dan penghasilan merupakan prioritas pertama. 

Mereka merasa perlu didukung-dukungan pertemuan, jaringan, ruang untuk komunikasi kelompok, bersama berbagi, dan waktu mereka untuk mulai berpartisipasi membangun. Tanggapan ini akan memperkuat dan mendukung keberlangsungan kelompokmereka sendiri. Ini tidak mudah. Orang akan terkena dampak dalam berbagai bentuk dan berbeda dalam prioritas. Mereka akan melihat kelompok lain yang terkena dampak sebagai pesaing dalam mencari dana atau dukungan dari kelompok luar. 

Tanggap segera untuk memperbaiki rekonstruksi di lingkungan urban tidak mudah. Setelah bencana, keperluan terhadap perawatan dokter,  pelayanan kesehatan atau medis, makanan dan air bersih, dan akomodasi atau penampungan sementara sangat diperlukan. Namun bencana tidak dibawah  hubungan yang berlawanan antara pemerintah lokal dengan rakyat miskin dan komunikasi informal mereka. Kelompok penanggulangan bencana tidak bisa menekan akar masalah ini karena banyak orang kota yang terkena dampak berat-disebabkan mereka tinggal secara illegal dengan kualitas rumah yang buruk pada tempat bencana sehingga pemerintah menolakmenyediakan pelayanan dan infrastruktur. Kelompok penanggulangan bencana sering gagal untuk menjamin keamanan, tempat lokasi yang baik untuk tempat tinggal bagi orang yang kehilangan rumah dibangun sementara; karena tempat sangat bernilai dan pemerintah dan kelompok yang berpenghasilan tinggi tidak mendukungnya. Semuanya menawarkan tempat yang jauh dari akses penghasilan. 

Memperkuat dan mendukung aksi lokal bagi pengurangan resiko di wilayah urban

Perkembangan yang baik, pengurangan resiko bencana yang baik, dan adaptasi yang baik bagi perubahan iklim, semuanya secara intens antara local dengan yang terkait. Mereka memerlukan institusi lokal yang efektif yang akuntable bagi penduduk termasuk yang tinggal dipemukiman tidak resmi. (snd)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar