Jumat, 01 Oktober 2010

DI GERBANG NEGERI IMPIAN

SEPOTONG KATA
DI GERBANG NEGERI IMPIAN

Alhamdulillah, kami (Muhammad Syafi’i dan Bambang Sukirno, relawan Hilal Ahmar Society yang tergabung dalam tugas Mer-c) mendarat dengan selamat di Kairo, tanggal 16/07/2010 pukul 12.30 waktu Kairo. Cuaca sangat panas. Turun dari pesawat, kami dikejutkan oleh seseorang berkebangsaan Mesir yang menjemput, namanya Ahmad Mahmud Hafid. Dia mengenalkan diri staf Kedubes. Alhamdulillah , beliau membantu pengurusan imigrasi. Usai urusan imigrasi, kami dijemput mahasiswa utusan Mer-c dan langsung di bawa ke Wisma Jakarta.
    Kami kemudian istirahat. Hanya berdua di Wisma Jakarta jenuh juga. Melalui koneksi lama, kami mencari tahu tempat mangkal relawan lain yang masih tertahan di Kairo dan Alhamdulillah, pagi ini kami bisa bertemumereka di Wisma Nusantara.
    Di Wisma Nusantara, kami bertemu dengan ACT 2 orang (konsentrasi dibidang rehabilitasi dan bantuan langsung), Bulan Sabit Merah Indonesia 4 orang, ditambah yang akan menyusul 18 orang, total 22 orang.
    Prinsipnya kami semua menunggu izin dari, pertama, Kemenlu Mesir. Kedua, State Security (badan Intelejen). Jika keluar izin dari dua institusi ini, Insya Allah bisa masuk Gaza. Oh ya, relawan ACT sudah di sini 10 hari sementara BSMI sudah sepekan.
    Tambahan info, semalam saya call dr. Joserizal tentang jadwal hari ini (beliau sudah berada di Gaza), Insya Allah beliau akan bertemu dengan insinyur lokal untuk proyek pembangunan rumah sakit. Saya tanya,”Alat-alat bangunan ada?” Jawabnya,”Insya Allah ada, meski terbatas.”
    Hari minggu, 18 Juli 2010, pukul 10 waktu Kairo kami ke KBRI. Di KBRI, kami memanfaatkan untuk mendapatkan informasi mengenai prosedur pengiriman bantuan ke Gaza. oleh pak Burhan, Ketua Konselir Politik, saya ditemukan dengan pak Iwan dan pak Ali. Keduanya membidangi bagian Sosial Budaya. Dari beliaukami mendapat penjelasan bahwa kebijakan pemerintah Mesir, bantuan kemanusiaan harus disalurkan tunggal bernama Egyptian Red Crescent (semacam PMI di Indonesia).
    BSMI dan ACT pada akhirnya menggunakan jalur ini. Demikian juga Negara-negara Arab dan kafilah Libia kemarin hari. BSMI meminta Red Crescent Kairo untuk menjadi pelaksana (atas biaya BSMI) untuk membeli 150 ton gandum. Malaysia juga memakai jalur ini, dan yang tragis, uangnya diterima di Rafah namun relawannya tidak boleh masuk. Jadi kalau bantuan buat Palestina itu berupa barang, makanan, dan alat. Insya Allah tidak banyak problem. Yang problem itu kalau bentuknya rumah sakit. Nah, kan?
    Jadi, saya kebih menghayati kenapa ide “membangun rumah sakit” itu sangat strategis, unik, dan orisinal.
    Setelah selsesai di KBRI kami berangkat ke El Arish dan menuju Rafah. “Kalian tunggu di kafetaria, kami akan konfirmasi ke State Security,” ucap polisi penjaga perbatasan Rafah ditengah kesibukan melayani penduduk Gaza yang hendak pulang. Kami menunggu dengan harap-harap cemas sambil menikmati secangkir qahwah. Sejenak kemudian kami dipanggil Polisi dan berkata: “Hanya Mahmud (maksudnya Muhammad Syafi’i/rekan kami) yang boleh ke Gaza.” “Saya bagaimana”, protes saya. “Anda tidak boleh,” Jawabnya. “Kenapa?” Kejar saya. “Kami tidak tahu, yang jelas ini wewenang intelejen pusat kami, dan belum ada izin untuk anda.” Jelasnya. “Tapi kami membawa surat pengantar dari kedutaan kami (Indonesia), bahwa kami termasuk tim yang sudah masuk beberapa hari lalu?” protes saya kembali. “Ya, kami tahu, tapi ini kewenangan intelejen.” “Tolonglah bantu kami, kami berdua adalah kesatuan tim yang ingin membantu saudara di sana.” Pinta saya. “Kami tahu, tapi kami tidak bisa.” Pungkasnya.
    Sejenak saya dan Syafi”i terdiam. Agak sedikit tegang,”Bagaimana pak Syafi’i?” “Kalau kagak bisa  masuk berdua, mending kita kagak masuk dulu, nunggu izin pak Bambang keluar.” Saat itu Syafi’i memberi tahu kawan-kawan Mer-C di Gaza, seputar perkembangan terkini, dan mereka menyarankan masuk saja. Saya juga berpikir, izin bagi saya belum tentu keluar, sementara jika kami tidak ada yang masuk, misi utama bank darah tidak berjalan. “Pak, antum berangkat saja, saya akan berusaha lagi.” Saran saya. “Jika saya tidak bisa masuk, saya akan tetap melakukan tugas dari perbatasan.” Lanjut saya. “Kalau begitu, antum jangan pergi sebelum saya sampai Gaza.” pinta Syafi’i. “Oke”, jawab saya. Kami kemudian minta arahan Mer-c. Dr. Arif mengarahkan agar menyiapkan uang 105 pound, dan menjanjikan akan menjemput di Imigrasi Gaza. Saya menuliskan beberapa tugas pak Syafi’i sesampainya di Gaza.
    “Bismillah akhi, antum berangkat. Jangan lupa banyak berdzikir dan berdoa.”, saran saya. “Apa ini aman bagi saya, ustadz?” tanya pak Syafi’i. “Aman, Insya Allah, tidak apa-apa.” Kami saling bertaanuq sebelum akhirnya melepas beliau di gerbang Rafah. Saya baru bisa melihat Palestina dari sebuah jarak; sekitar 400 meter.
    Saya ditemani kawan, menunggu di kafetaria sambil memantau pak Syafi’i. Saat hati masyghul memikirkan banyak hal terkait amanat dan aneka ragam, saya selalu ingat kalimat dokter Nardi saat melepas kami. “Unsur ketidakpastian di amal ini sangat tinggi, tapi yang penting kalian bersungguh-sungguh.” Kalimat ini sangat menghibur.
    Tiba-tiba kami didatangi seseorang yang sangat simpatik. Berbicara dalam bahasa Inggris. Saya tanya dari mana dan dalam rangka apa? Dia menjawab dari Saudi dalam rangka menghantarkan istrinya asli Gaza untuk pulang. Dia mengaku tidak bisa masuk karena dilarang. Dia sangat ramah, dan saya ajak dalam bahasa Arab. Di amentraktir kami syahi den bercerita banyak hal. Ia mengaku berasal dari Ramlah (bukan Ramallah), yang kini masuk wilayah Israel. Tahun 60an, bapaknya studi di Mesir, sebelum terjadinya perang Arab tahun 70an. Perbatasan ditutup, kemudian jadilah dia pengungsi. Bapak ibunya, hingga kini tinggal di Kairo dan dia sendiri bekerja sebagai muhandis (insinyur) di Riyadl. Ketika saya tanya kenapa anda dilarang masuk?, dia menjawab,”Paspor saya Yordan, bersifat sementara, berumur dua tahunan, tapi tidak diakui sebagai warga Yordan. HP nya cukup banyak dan mewah-mewah. Dari Bbnya, saya dijelaskan peta-peta Israel, rumahnya dan jalur Gaza dari google mapnya. Saya belum bisa memahami penjelasan-penjelasan ini. Ia kemudian menyapa seorang wanita dari Belanda yang dari tadi terlihat tegang dengan aparat. Saat kembali, saya bertanya apa yang terjadi. Ia menjelaskan bahwa wanita itu berpaspor diplomat, sudah memiliki izin masuk, hendak menjemput suami dan anaknya, tapi tidak diberi izin masuk. Wanita itu konon sudah lima hari menunggu.
    Saya memang bukan satu-satunya yang ditolak. Sampai hari ini, ada 6 relawan yang menunggu izin intelejen untuk masuk. Masing-masing dari BSMI dan ACT. Mereka kini menunggu di Kairo, 400 km dari Rafah. Menurut teman-teman BSMI, ada 18 orang lagi yang senin ini dijadwalkan akan datang. Saat kami ke KBRI kemarin, kami mendapat penjelasan bahwa yang saya sebut di atas, izinnya sudah diurus tapi belum ada yang keluar.
    Berbeda dengan sikapnya terhadap Mer-c, KBRI nampaknya lebih powerfull dan ramah. Untuk diketahui, bahwa proses perizinan masuk Gaza adalah sebagai berikut 1. Adanya rekomendasi Kemenlu RI. 2. Pengajuan KBRI ke Kemenlu Mesir oleh Konselir Politik dan pengajuan KBRI oleh konselir Atan (Atase Pertahanan) ke State Security. 3. Turun surat jawaban dari dua institusi di Mesir, Kemenlu dan State Security tentang boleh tidaknya nama-nama yang diajukan untuk masuk. Perlu saya sampaikan kami ber 12 sudah diajukan baik oleh Konselir Politik maupun Atan ke Pemerintah Mesir. Artinya, secara yuridis, dari Institusi RI, Insya Allah kami tidak ada masalah. Kami juga mendapat rekomendasi dari Kaukus Parlemen, Komisi I DPR RI. Yang menjadi masalah, kenapa dari 12, ada 1 yang di tolak oleh Intelejen Mesir?
    Untuk sementara saya akan bertahan di tsughuur bernama Arisy, kota kecil tapi ramai sekitar 40 km dari rafah. Besok saya akan kembali ikhtiar ke Rafah, sebagaimana amanat kawan-kawan. Saya akan tetap menjalankan tugas meskipun belum masuk Kota Gaza. ada banyak ide yang saya catat. Arisy, sebagaimana dijelaskan sopir tadi, adalah tempat pembuangan narapidana era Fir’aun yang ditandai dengan potong hidung (ar-Isy/hidung terpotong). Semoga bukan dalam makna ini. Karena ada makna lain, Arisy sama dengan gubuk. Menjelang saya akhiri tulisan ini, pak Syafi’i SMS: “Alhamdulillah, saya masuk markas Mer-c di Gaza.”
    Saya mohon doa semoga diberi kekuatan dan yang terbaik. “Ya Allah, jangan bebani hambamu beban yang tidak sanggup hamba pikul.” (Bambang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar