Sabtu, 02 Oktober 2010

MEREKA MENAHANKU DI PERBATASAN

SEPOTONG KATA
MEREKA MENAHANKU DI PERBATASAN

Selasa, 20/07/2010. Sebagaimana biasa, pagi hari, kami sarapan ‘isy fuul, roti keras tanpa ragi dan telur dicelup dengan bubur kacang. Hanya dengan 3 lembar roti, bisa tahan lapar hingga sore. Harganya sangat murah, kurang dari 5 pound. Tak ada syahi atau qahwah, hanya air mentah yang bisa diambil penduduk secara gratis di pinggir-pinggir jalan. Mas’ud, sopir langganan saya sudah beberapa saat ditelpon tapi tak kunjung tiba. Saya baru tahu, ternyata ia tinggal di dekat Rafah, berbatasan dengan wilayah Israel. Baginya, perlu 30 menit  untuk bisa sampai ke Arisy.

Mercedez Benz itu keluaran 1980-an tapi masih sangat terawat. Mobil melaju sangat kencang menuju Rafah. Saya jadi teringat kalimat pak Syafii ketika mengomentari perilaku sopir Kairo: “Jenderal atau bahkan prajurit densus sekalipun akan sakit jantung naik mobil di sini”, candanya. Di tengah jalan, di sebuah check point, ada mobil tronton sedang menjalani pemeriksaan. “Ada pemeriksaan wahai Mas’ud?” tanyaku. “Ya, tapi bukan untuk kita. Mobil itu memuat semen. Anda perhatikan nanti dia akan belok ke kampung. Di sana, semen-semen itu akan di bawa ke Gaza melalui terowongan.” Hmm.. saya jadi ingat guyonan dia kemarin. “Kami bantu orang-orang Gaza, tapi dari terowongan.”

Perjalanan, seakan baru bermula, tapi kami sudah tiba di Rafah. Dari kejauhan, polisi penjaga sudah memberikan senyum sambil memberi kode penolakan. Saya tetap mendekat dan dia bilang, “Baik saya coba tanya ke intelejen.” Saya kemudian mencari tempat teduh di sebuah pohon. Di sana ternyata kawan-kawan dari ACT sudah lebih dahulu datang. Mereka berangkat dari Kairo sejak sebelum subuh menempuh 440 km. tak lama kemudian kami dipanggil bersama-sama oleh polisi. Kesimpulannya kawan-kawan ACT diijinkan masuk dan saya tetap tidak boleh.

Saya kembali ke bawah pohon sambil mengkhabarkan ke kawan-kawan di Gaza. mereka mengkhabarkan balik bahwa mereka sedang pertemuan di kementrian PU Pemerintah Palestina dan setelah itu dr. Joserizal dan Ir. Faried akan segera balik ke perbatasan. Saya diminta menunggu beliau berdua. Sambil menunggu, saya minta teman-teman pengantar ACT untuk tidak segera pulang dan meminta tolong untuk bisa membawa dr. Joserizal dan Ir. Faried ke Kairo. Mereka setuju. Mas Arif yang menjadi penterjemah ACT, mengeluarkan berkas. Saya meminjam untuk dibaca. Berkas itu berisi surat berkop Republik Mesir dari Kemenlu Mesir. Isinya surat izin bagi relawan yang diusulkan KBRI masing-masing 5 dari Republika, 2 dari ACT, dan 22 dari BSMI. Ada lampiran nama-nama komplit.

Dengan demikian, pengajuan relawan yang diajukan oleh KBRI ke Kemenlu Mesir, sepanjang yang saya ketahui dari Konselir Politik, sudah turun semua. Yang belum turun hanya 1 dari Mer-c alias saya sendiri. Saat saya membaca berkas itu saya kemudian menyimpulkan bahwa jika selama ini masih ada “parameter tertib waktu” dalam soal turunnya surat ijin, maka asumsi itu menjadi tipis. Surat buat ACT dkk di atas, adalah surat pengajuan yang saya ceritakan kemarin dengan istilah “jalur regular” untuk membedakan dengan “jalur patas Mer-c”. Dan semua sudah ada kesimpulan “ditolak atau diterima”, bukan sudah turun atau belum turun. Tapi sekali lagi, ini hanya analisa. Kepastian dan alasannya hanya intelejen yang bisa menjelaskan.

Dalam kehidupan sehari-hari, menunggu memang jenis pekerjaan yang kurang kusukai. Tapi menunggu kali ini, meski tanpa kepastian, tetap nikmat terasa. Saya merasa setiap debu shahra’ yang mengenai tubuh ada pahalanya. Demikian juga dengan hawa panas yang menyengat. Melihat pasukan PBB yang lalu lalang, saya kadang berpikir, apa yang mereka dapat hingga berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun mereka berlelah-lelah di sini?

“Dhalim orang itu…saya hanya mau pulang ke kampung saya, kenapa pula harus dihalangi?” ungkap seorang bapak berumur 50 tahunan yang sedari tadi duduk di sebelah saya. Kepada kawan saya dia menceritakan bahwa mereka yang banyak lolos di pintu Rafah adalah pemegang passport yang distempel Israel. Dia nampaknya termasuk enggan, dan bayarannya: selalu ditolak masuk Gaza. Meski demikian, sebagaimana saya, ia tetap setia menunggu. Dan penunggu-penunggu izin tanpa kepastian semacam ini selalu ada setiap hari. Saya bertanya-tanya, inikah jenis perlawanan sipil itu? Setelah saya renungkan, bukankah bahwa ini perang? Bukankah bahwa ini perbatasan, meski secara fisik penjaganya tentara Mesir tetapi hakikatnya adalah pembantu Israel? Dan bukankah bahwa meski hanya duduk,  tapi itulah yang bisa mereka lakukan? Saya berdoa semoga mereka mendapat balasan dari upaya semacam itu.

Rafah hari-hari ini lebih sering buka daripada hari-hari sebelum kasus Mavi Marmara. Sedikit  “kelonggaran” ini tak lepas dari perlawanan atas blockade Gaza yang dirancang di Turki itu. Melihat “angkernya” perbatasan Rafah, wajar kiraku jika akhirnya mereka mencari jalan terowongan. Ada cerita menarik dari mahasiswa yang ia saksikan melalui berita televisi bahwa terkait ide penanaman plat baja oleh Israel untuk mengantisipasi terowongan, sekarang tidak berlanjut. Sebabnya, plat-plat yang ditanam sedalam 20 meter ke bumi itu, diterjang oleh angin puting beliung. “Tangan manusia tak mampu menahan, Tangan Tuhan yang bertindak pak,” ujarnya.

Dzuhur tiba dan kami menaiki mushalla kumuh. Dari atas mushala saya memandangi imigrasi Gaza; negeri impian menurut istilah dokter Nardi, dari jarak hanya 300 meter. Memandang  ke arah kanan, di tengah padang pasir, banyak container markas pasukan PBB. Ke arah kanan lagi, sekitar 2-3 km, masuk wilayah Israel. Terlihat balon besar yang konon itu adalah kamera Israel. Dzuhur tiba dan saatnya kami shalat.

Jam 3 sore, sesaat kemudian dr. Joserizal dan Ir. Faried keluar dari border. Kami langsung bertaanuq. Di tengah terik matahari, kami berkoordinasi sejenak. “Apa karena saya dari Solo dok hingga dihambat sendiri?” Tanya saya. “Oh tidak ada itu”, jawabnya. Tapi sejurus kemudian beliau bertanya,”Apa antum ada masalah?” Saya menjawab,”Insya Allah tidak ada masalah, hanya memang banyak wartawan asing yang sering menemui saya terkait kegiatan saya menerbitkan buku-buku jihad.” Kepadanya saya tunjukkan surat ijin yang sudah keluar untuk seluruh relawan. Dr. Joserizal meminta saya untuk menjelaskan sekilas rincian pekerjaan. Setelah saya jelaskan beliau bilang bahwa saya harus ke Kairo untuk mempelajari prosedur pengiriman barang. Kepadanya saya jelaskan bahwa saya sudah mendapatkannya saat masih di Kairo. Dari prosedur itu menyisakan 1 pekerjaan rumah, rekomendasi dari United Nations Relief and Works Agency for Palestinian Refugees (UNRWA). Kata dr. Joserizal itu tidak perlu, cukup dari Pemerintah Palestina.

“Kita ke Arisy dulu cari air tebu, biar otak encer,” usul dr. Joserizal. Kami segera meluncur dengan Hunday. Sambil melaju, dr. Joserizal kontak ke KBRI untuk meminta jadwal bertemu Dubes terkait perkembangan pembangunan Rumah Sakit. Beliau juga mempertanyakan soal relawannya yang masih terganjal satu. KBRI berjanji akan menyampaikan info balik jika ada perkembangannya. Di tengah kota Arisy, kami yang kehausan segera menghabiskan air-air tebu itu. “Kesimpulannya, dari sisi tugas, ente bisa  masuk bisa kagak. Tugas survey di dalam soal Bank Darah, bisa dihandle Syafii. Tugas yang lain bisa antum jalankan di sini. Hanya kalau sudah sampai di sini, secara ma’nawiyah, ente harus menjiwai Gaza.” jelas dr. Jose. “Caranya gimana dok..?” tanya saya. “Ente harus masuk atau terus berusaha masuk”. “Siap!” jawab saya. Dengan demikian, untuk sementara saya akan tetap di Arisy-Rafah, sampai bisa masuk atau Syafii keluar. Kami segera berpisah. Sembari taanuq, Ir. Faried berujar: “Sabar ya akhi, ini bagian dari perjuangan.”
(Laporan mas Bambang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar