Rabu, 07 Juli 2010

Reaksi Tranfusi


MAJALAH KESEHATAN ISLAM HILAL AHMAR EDISI 36 /VI/ JUNI 2010 | Reaksi Tranfusi


 
TUBUH KITA
Oleh : Ami Misbah
Transfusi darah adalah tindakan memasukkan darah atau komponennya ke dalam sistim pembuluh darah seseorang. Komponen darah yang biasa ditransfusikan ke dalam tubuh seseorang adalah sel darah merah, trombosit, plasma, sel darah putih. Transfusi darah adalah suatu pengobatan yang bertujuan menggantikan atau menambah komponen darah yang hilang atau terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi. Tentu saja transfusi darah hanya merupakan pengobatan simptomatik karena darah atau komponen darah yang ditransffusikan hanya dapat mengisi kebutuhan tubuh tersebut untuk jangka waktu tertentu tergantung pada umur fisiologi komponen yang ditransfusikan; walaupun umur eritrosit adalah 120 hari namun bila ditransfusikan pada orang lain maka kemampuan transfusi tadi mempertahankan kadar hemoglobin dalam tubuh resipien hanya rata-rata satu bulan.
Tindakan transfusi darah atau komponennya bukanlah tindakan tanpa risiko; sebaliknya tindakan ini merupakan tindakan yang mengandung risiko yang dapat berakibat fatal. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat dan lambat.
Reaksi Cepat

Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus (gatal), urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, sesak nafas ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit,  urtikaria,  demam,  takikardia,  kaku otot. Reaksi ringan diatasi dengan pemberian antipiretik (penurun panas), antihistamin (anti alergi) atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di  sekitar tempat masuknya  infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, penurunan tekanan darah (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.
Hemolisis intravaskular akut

Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkompatibel maka akan semakin membahayakan.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan tidak telitinya pemeriksaan identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan.
Jika sel darah merah yang keliru diberikan kepada yang salah, pasien, kemungkinan inkompatibilitas ABO adalah sekitar satu dari tiga. Reaksi ini biasanya paling parah jika grup A sel darah merah yang menanamkan ke grup O pasien. Bahkan beberapa mililiter darah ABO tidak kompatibel dapat menyebabkan gejala dalam beberapa menit yang akan diperhatikan oleh pasien sadar.
Jika sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Yang paling berat dari reaksi transfusi sel-merah yang tidak kompatibel dengan hemolisis intravaskular yaitu dimediasinya pelepasan amina vasoaktif (misalnya histamin) dan beberapa sitokin, yang menyebabkan vasodilatasi, hipotensi, dan kontraksi usus halus, otot bronchial.
Jika tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah.

 
Demam Non-Hemolytic Transfusi Reaction (FNHTR)

 
FNHTRs adalah efek samping yang paling sering dijumpai pada transfusi. Ditandai dengan peningkatan suhu ≥ 1 º C (2 º F) yang dihubungkan dengan transfusi, mereka juga dapat disertai dengan menggigil / kaku, hipertensi, takikardi dan dispnea. Gejala tersebut paling sering timbul menjelang akhir dari transfusi atau dalam waktu dua jam pasca tranfusi. Demam dapat diobati dengan antipiretik dan meperidin telah dikatakan efektif dalam terapi farmakologis reaksi ini.
Kelebihan cairan

Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau adanya penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan memiliki penyakit dasar kardiovaskular.
Reaksi anafilaksis

Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok, distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif dengan vasopresor.
Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI)

Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien. Biasanya dalam waktu enam jam transfusi, pasien mengembangkan sesak napas dan batuk non-produktif, demam dan hipotensi juga dapat ditemukan. Dengan gambaran foto toraks khas menunjukkan infiltrat nodular bilateral dalam pola batwing. Kehilangan volume sirkulasi dan hipotensi sering terjadi. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan observasi dan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
Reaksi Lambat

Reaksi hemolitik lambat

Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah kompatibel dengan antibodi tersebut.
Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 5-10 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.
Penyakit graft-versus-host

Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi (pengelupasan), diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat suportif.
Kelebihan besi

Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan  mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan untuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
Penularan Penyakit

Berbagai mikroorganisme dapat ditularkan melalui transfusi; yang terutama adalah 1) hepatitis (B+C), 2) sifilis, 3) malaria, 4) virus seperti CMV, EDV sampai dengan HIV. Penularan virus HIV melalui transfusi telah banyak dilaporkan antara lain oleh Allani (1987), Alter (1987) dan Allen (1987). Risiko tertular oleh HIV akibat transfusi dengan darah donor yang mengandung HIV amat besar yaitu lebih dari 90%; artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV, maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan akan menderita infeksi HIV sesudah itu. Pada mulanya prevalensi transmisi melalui transfusi darah cukup tinggi di Amerika Serikat dan di Eropa Barat, karena itu penyaringan terhadap HIV merupakan tindakan rutin di belahan dunia tersebut. Di Indonesia penyaringan terhadap HIV sebagai prasyarat transfusi belum dapat dilaksanakan mengingat terbatasnya dana yang tersedia. Pemberian transfusi darah maupun komponen-komponennya atas indikasi yang tepat merupakan salah satu cara untuk mengurangi kemungkinan penularan HIV melalui transfusi.
(Ami Misbah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar