Senin, 26 Agustus 2013

Sehat Mental | Ruang Kosong Pondok Pesantren


Ruang Kosong Pondok Pesantren

Berbicara tentang pondok pesantren tiba-tiba terngiang lirik qasidah kota santri. "Suasana di kota santri, asik senangkan hati. Suasana di kota santri, asik senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi, hilir mudik silih berganti, pulang pergi mengaji. Duhai Ayah Ibu berikanlah izin daku untuk menuntut ilmu pergi ke rumah guru, mondok di kota santri banyak Ulama Kiai tumpuan orang mengaji, mengkaji ilmu agama bermanfaat di dunia menuju hidup bahagia sampai akhir masa." Penggambaran yang begitu apik, terbayang suasana religius pondok pesantren yang menyejukkan hati, santri berbondong-bondong riang menuju majelis ilmu, berdiskusi, mengaji dan saling menyimak hafalan al qur'an masing-masing. Seindah itu kah suasana disana ?

Menelusur Jejak Awal Ponpes

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Menurut pengertian dasarnya, pesantren adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu, kata "pondok" juga berasal dari bahasa Arab "funduq" yang berarti "hotel atau asrama". Dari penggalan tersebut, pondok pesantren bisa diartikan sebagai tempat tinggal/asrama santri/murid-murid belajar ilmu agama. Adapun sejarah berdirinya pondok pesantren, berdasarkan beberapa sumber yang ada mengatakan bahwa pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang seiring dengan masuknya Islam di Indonesia.
Berdirinya pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali Songo-Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India. Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan pesantren karena sebelumnya sudah ada institusi pendidikan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para bikshu dan pendeta di Indonesia. Pada masa perkembangan Islam, biara dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren. Selanjutnya pesantren digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Giri Kedaton.
Zaman kerajaan islam, Pondok Pesantren mendapat bantuan sepenuhnya dari raja dan para pembesar kerajaan. Bahkan raja sendiri yang mempelopori usaha-usaha untuk memajukannya. Terlebih saat pusat kerajaan Islam berpindah ke Mataram dan dipimpin oleh Sultan Agung, perhatian untuk memajukan Pondok Pesantren semakin besar. Dalam usahanya memakmurkan masjid, Sultan Agung memerintahkan agar setiap ibu kota Kabupaten didirikan sebuah masjid raya (Masjid Agung), dan pada tiap-tiap ibu kota distrik sebuah masjid Kawedanan. Demikian pula pada tiap-tiap desa. Dengan demikian, perhatian Sultan Agung dalam bidang pendidikan agama Islam cukup besar, sehingga pada masa kerajaan Mataram yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung bisa dikatakan sebagai zaman keemasan bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran agama Islam, terutama Pondok Pesantren.
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial mendirikan lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu, namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat Indonesia. Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Meskipun harus bersaing dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda, pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan hanya dari segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar. Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah Belanda diakhir abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi (undang-undang) tahun 1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guru yang mengajar harus mendapatkan izin pemerintah setempat.
Di era kemerdekaan sampai sekarang, pesantren turut aktif mengisi kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas. Berbagai inovasi telah dilakukan untuk pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren merupakan upaya untuk memberikan bekal tambahan agar setelah lepas dari pondok para santri bisa mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat. Seiring dengan bergulirnya alur modernisasi, tuntutan masyarakat global adalah profesionalisme, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos kerja yang tinggi. Sayangnya, dari 25.000 jumlah pondok pesantren yang ada di Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang dilirik oleh masyarakat. Kecenderungan orangtua masih pada sekolah umum negeri/swasta yang lebih "menjanjikan".

Realita Saat Ini

Dibandingkan lembaga pendidikan lain, pondok pesantren dinilai memiliki masalah paling kompleks. Hal ini dikarenakan pondok pesantren bertanggung jawab atas diri murid selama 24 jam. Di samping itu, jika sekolah umum lebih menitik beratkan pada target dan kegiatan akademik, maka pondok pesantren menggarap tidak hanya aspek inteligensi, tetapi juga fisik, karakter dan ruhiyah santri. Jumlah peserta didik yang banyak, sementara tenaga pendidik sedikit dan ditambah lagi dengan fasilitas kurang memadai serta manajemen yang belum mapan, membuat proses belajar mengajar di pondok pesantren cenderung apa adanya. 

Pendidikan sikap dan karakter yang seharusnya digarap pun menjadi agenda terlewatkan. Alhasil, produk yang dihasilkan menjadi kurang optimal. Santri mungkin hafal sekian juz, ratusan hadits, tau banyak ilmu Din, rutin melakukan amalan wajib dan sunnah. Akan tetapi, jumlah santri yang benar-benar menginternalisasi nilai-nilai yang sudah diajarkan di pondok bisa dihitung dengan jari. Ketika terjun ke masyarakat dengan banyak perbedaan disana-sini pun hanya sedikit saja yang bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan baik. Dilihat dari sisi skill juga kurang tergali.

Tentu kondisi yang telah disebutkan tadi tidak bisa digeneralisasikan untuk semua pondok pesantren yang ada. Beberapa pesantren telah menerapkan manajemen dan tata kelola sistem pendidikan yang baik, sehingga menghasilkan tata kelola yang baik pula, dari mulai perencanaan, proses implementasi, pengawasan, hingga evaluasi. Hasilnya, sebagaimana dapat disaksikan, telah mendorong lembaga pesantren "modern" dapat berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan modern lainnya. Namun,  jumlah pesantren yang sudah memperhatikan hal ini baru 1/3 dari keseluruhan yang ada. Sementara 2/3 yang lain belum optimal, ini berarti ada sekitar 3,2 juta santri yang diasumsikan belum berada pada tempat yang dapat mengantarkannya menggapai "potensi" dan "kompetensi" yang diharapkan.

Ragam Motif Orangtua Memilih

Saat ini banyak alternatif model pendidikan di luar pondok pesantren yang bisa dipilih untuk anak-anak bahkan kualitasnya bisa dikatakan jauh lebih baik, lantas mengapa masih ada orangtua yang memilih jalur pondok pesantren ? Bahkan tidak sedikit pula orangtua yang mulai memasukkan anaknya ke pondok sejak usia SD. Hal ini sebetulnya menunjukkan bahwa pondok pesantren masih dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat yang baik untuk mendidik anak-anak mereka. Berikut ini beberapa alasan orangtua memilih pondok pesantren sebagai tempat pendidikan anak :
  1. Cita-cita orangtua ingin memiliki anak seorang ulama.
  2. Ingin membekali anak dengan ilmu Din, karena ilmu Din adalah pondasi dan hukumnya fardhu 'ain.
  3. Ingin supaya anak lebih mandiri. Dengan hidup berjauhan dengan orangtua, maka anak akan belajar mengurus keperluan dan kewajibannya sendiri.
  4. Lingkungan pondok pesantren lebih terjaga dari pengaruh negatif.
  5. Biaya pendidikan di pondok lebih terjangkau.
  6. Meringankan beban orangtua karena mungkin orangtua "kewalahan" mengurus anak-anaknya. Dengan memasukkan anak ke pondok berarti tanggung jawab pendidikan anak diserahkan kepada pihak pondok.
  7. Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan. Banyak di lingkungan tersebut yang memilih pondok pesantren.

If Yes, Then How ?

Penulis yakin setiap orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka. Hanya saja masih sedikit dari orangtua yang mengajak komunikasi anak-anaknya ketika memutuskan memilih pondok pesantren atau dengan kata lain bukan atas dasar keinginan anak. Bahkan setelah anak masuk pondok pun jarang sekali komunikasi. Alih-alih ingin membuat anak mandiri, tetapi ternyata yang dirasakan oleh anak adalah "orangtuaku tidak peduli padaku". Tidak heran, ketika anak pulang ke rumah banyak orangtua yang mengeluhkan "anakku jadi cuek banget, ga peka". Orangtua merasa tidak mengenali anaknya, anak pun asing dengan orangtuanya.
Hal penting yang senantiasa harus disadari oleh orangtua adalah tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya menjadi kewajiban orangtua dan tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang paling tulus kepada anak kecuali orangtua. Melihat kondisi yang ada saat ini, orangtua memang sudah selayaknya mempertimbangkan dengan bijaksana pilihan pendidikan untuk anak. Jika memang pondok pesantren yang dinilai paling tepat, maka ada 5 hal yang harus diperhatikan.
  1. Usia
Memang tidak ada aturan atau teori baku mengenai usia yang tepat anak masuk pondok. Usia 6-12 tahun (SD) merupakan masa pertengahan dan akhir anak-anak atau bisa dikatakan sebagai masa persiapan menuju remaja. Masa-masa ini adalah masa paling efektif sekaligus lebih mudah "diatur" daripada selama masa awal anak-anak dan masa remaja. Pada masa remaja, penalaran anak-anak menjadi lebih canggih, dan mereka cenderung kurang dapat menerima disiplin orangtua. Para remaja juga menuntut kemandirian lebih tegas, yang menyebabkan sejumlah kesulitan bagi orangtua. Oleh karena itu, sebenarnya fase pertengahan dan akhir anak-anak merupakan kesempatan emas bagi orangtua untuk menerapkan nilai-nilai agama, moral, disiplin dan kemandirian kepada anak. 

 Apalagi, perkembangan kognitif mereka juga sudah semakin matang sehingga memungkinkan orangtua untuk mengajak diskusi dan bermusyawarah tentang pengendalian perilaku, pelibatan anak-anak dalam pekerjaan sehari-hari di rumah, cara menghibur diri mereka sendiri saat dihadapkan dengan situasi yang tidak menyenangkan, serta interaksi sosial anak di luar keluarga, di sekolah dan di sekitar teman sebaya. Singkatnya, di usia 6-12 ini adalah "jatahnya" orangtua membangun pondasi dan memberikan bekal hidup sebanyak-banyaknya kepada anak, sebelum anak memasuki fase yang lebih bergejolak-remaja.

Dari sisi perkembangan fisik, ketika anak-anak memasuki tahun-tahun sekolah dasar, aktivitas fisik sangat penting bagi anak-anak ini untuk memperhalus keterampilan-keterampilan mereka yang sedang berkembang, seperti memukul bola, melompat tali, atau melakukan suatu gerak keseimbangan di atas balok. Oleh karena itu, pada prinsipnya anak-anak usia sekolah dasar harus terlibat secara aktif daripada pasif di dalam kegiatan-kegiatan. Ada juga pendapat, anak-anak di bawah usia 12 tahun gelombang otaknya harus dominan gelombang Alpha. Mereka harus lebih banyak bermain, bergembira, dan belajar dengan cara yang menyenangkan serta sering mendapat pelukan dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan anak-anak masih mudah depresi menghadapi lingkungannya, dan saat ini terjadi ia harus mendapat pelukan dari orang tuanya. 

Hal tersebut sejalan dengan riset yang dilakukan University of Bologna di Italia yang menyarankan orangtua untuk memberikan pelukan pada anak yang sedang mengalami masalah dan depresi. Menurut hasil riset itu ternyata pelukan lebih efektif ketimbang obat-obat antidepresi. Ini terlihat pada anak-anak yang mengalami depresi dan diberikan obat anti depresan, ternyata mereka memiliki kecenderungan untuk kembali depresi. 

Hal berbeda terjadi pada anak yang didampingi orangtuanya untuk melalui periode depresi. Bahkan hanya dengan pelukan hangat dari kedua orangtuanya, anak yang mengalami depresi bisa lebih percaya diri untuk menyelesaikan masalah.
  1. Kemandirian
Di samping usia, hal yang tak kalah penting untuk dilihat dari kesiapan anak masuk ke pondok adalah kemandirian. Minimal anak sudah ada kesadaran untuk menjaga dan merawat diri serta barang-barang miliknya. Jika orangtua melepas anak sebelum ia mandiri atau dengan kata lain justru dimasukkan ke pondok dengan tujuan agar anak bisa mandiri, maka ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, anak berhasil dididik menjadi mandiri atau malah sebaliknya.
  1. Jenis Kelamin
Tuntutan pada anak perempuan dan laki-laki jelas berbeda sejalan dengan peran yang dimainkan pun nantinya berbeda. Dalam hal ini, orangtua perlu memperjelas output yang diharapkan setelah anak lepas dari pondok. Tentunya disesuaikan dengan fitrah dan potensi masing-masing anak.
  1. Kondisi Pondok
Sebelum memutuskan anak hendak ke pondok mana, ada baiknya jika orangtua mengajak atau minimal memberikan gambaran tentang kondisi disana. Terkait dengan keadaan lingkungan fisik, hal yang perlu diperhatikan adalah bersih, nyaman dan aman untuk anak. Selain itu, orangtua juga perlu melihat sistem dan kegiatan yang ditawarkan pondok tersebut sejalan atau tidak dengan harapan orangtua dan anak.
  1. Komunikasi
Orangtua sebaiknya menyampaikan kepada anak, nanti ketika sudah di pondok orangtua akan menelfon setiap hari atau menjenguk per bulan misalnya. Intensitas dan kualitas komunikasi sangat penting untuk menunjukkan kepada anak bahwa orangtua peduli dan ingin mendengar cerita seru/berbagi ilmu/hal tidak menyenangkan yang dialami anak. Di samping itu juga orangtua bisa menceritakan kondisi di rumah atau bahkan menyampaikan kalau anggota keluarga yang lain merindukannya. Hal ini penting untuk disampaikan supaya ikatan emosional anak dengan rumah tetap terjalin dan anak juga merasa keberadaannya dinantikan.

Mengisi Ruang Kosong

Pondok pesantren bisa dikatakan sebagai tolak ukur keberhasilan pendidikan islam. Tujuan mulia didirikannya pondok pesantren akan cepat terwujud apabila dikelola dengan manajemen yang baik. Basis pengelolaan pondok tentunya harus memperhatikan pula aspek psikologis santri sebagai objek pendidikan. Sisi inilah yang selama ini agaknya kurang diperhatikan oleh pondok pesantren. Hal-hal yang berkaitan dengan psikis santri itu antara lain :
  1. Sosok "pengganti" orangtua
Ketika anak masuk ke pondok, maka secara otomatis waktu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga menjadi berkurang banyak. Oleh karenanya, penting sekali disana untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Hal ini akan terkait dengan sistem kamar. Akan lebih baik jika 1 kamar maksimal terdiri dari 10 santri, dengan 1 pengasuh, dan dibuat campur dari berbagai tingkat supaya tercipta suasana kakak-adik. Peran pengasuh kamar tidak hanya sekedar mengevaluasi kegiatan santri, tetapi yang lebih dibutuhkan adalah "menggantikan" kasih sayang orangtua. Maka, sudah selayaknya yang menempati posisi pengasuh ini mapan secara emosi, bijaksana dan paham karakter anak. Pengasuh bersama santri bermusyawarah tentang kebijakan kamar dan pembagian tugas masing-masing anak. Agenda sharing dan menjaga kekompakan kamar pun sudah selayaknya rutin dilaksanakan.  Hal yang tidak kalah penting adalah evaluasi sikap dan perilaku santri, sehingga jika ada perilaku santri yang tidak sesuai bisa segera ditangani.
  1. Hubungan antar santri
Hal yang pasti akan terjadi dalam kelompok adalah kecenderungan dekat hanya dengan teman yang cocok saja. Kecenderungan ini akan memunculkan kelompok kecil dalam kelompok besar atau yang biasa disebut dengan geng. Dalam hal ini, pengasuh perlu jeli melihat siapa dekat dengan siapa dan sejauh mana kedekatan mereka. Untuk itu, akan lebih baik jika diadakan rolling kamar per periode 1 semester misalnya, juga pembagian tugas kelompok yang anggotanya ditentukan pengasuh.  Hal ini disamping untuk melatih kebersamaan dan membiasakan santri bersosialisasi dengan karakter yang berbeda-beda, juga untuk mencegah terjadinya penyimpangan menyukai sesama jenis.
  1. Kesempatan aktualisasi diri
Kebutuhan umat islam saat ini tidak hanya generasi yang paham ilmu Din, tetapi juga memiliki skill, menguasai teknologi dan profesionalitas. Oleh karena itu, sudah sepatutnya pondok pesantren juga menyediakan wadah bagi para santri untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki. Memberikan kesempatan kepada santri untuk mengikuti lomba yang terkait dengan bidang yang ia kuasai juga merupakan sarana bagi santri untuk aktualisasi diri serta mengembangkan ilmunya.
  1. Komunikasi dengan orangtua
Kerjasama yang baik antara pihak pondok dengan orangtua dimulai dari komunikasi. Pihak pondok perlu untuk mengetahui riwayat anak selama di rumah dan harapan orangtua. Orangtua juga berhak bahkan wajib untuk mengetahui perkembangan anak selama di pondok, kebijakan dan tindakan yang diambil ketika anak mengalami masalah.
  1. Reward dan Punishment
Setiap anak berhak untuk mendapatkan reward/penghargaan ketika perilakunya sesuai dengan yang diharapkan. Tentu bentuk reward ini tidak harus selalu berupa barang/materi, sekedar pujian, anggukan atau senyuman yang tulus itu sudah cukup bagi anak untuk merasa usahanya dihargai. Sama halnya ketika anak melakukan kekeliruan baik tidak sengaja atau pun disengaja, maka anak juga berhak mendapatkan punishment/hukuman. Seperti halnya reward, pemberian punishment juga beragam disesuaikan dengan psikologis anak.

Melihat kebutuhan psikologis santri yang sudah disebutkan di atas, ternyata memang penting bagi tenaga pendidik untuk senantiasa mengupdate pengetahuan tentang psikologi anak dan meningkatkan kemampuan dalam menghadapi karakter anak yang beragam. Metode pengajaran pondok pesantren yang terkesan klasikal pun sebaiknya mulai diperbaharui supaya santri benar-benar menikmati proses belajar mengajar, serta ilmu yang didapatkan juga bisa diinternalisasi/dihayati dengan baik. Pihak pondok juga sebaiknya memiliki standar kualitas untuk semua elemen pendidik, pengasuh dan karyawan, tidak hanya mencakup pemahaman Din, tetapi juga pribadi. 

Di samping itu, pengelola pondok sudah selayaknya memperhatikan kesejahteraan semua pendidik, pengasuh, dan karyawan supaya masing-masing bisa fokus dengan tanggung jawab dan perannya di pondok. Kondisi di lapangan mungkin memang tidak mudah untuk mewujudkan pondok pesantren yang ideal, tetapi akan sayang sekali apabila potensi jumlah generasi muslim sebanyak 3,2 juta ini jika tidak digali dengan manajemen yang baik. InsyaAllah, niat baik pasti akan diberi kemudahan dari jalan yang tidak disangka-sangka.Wallahu'alam. (Deti Annisa Jayanti, S.Psi) 

Majalah Hilal Ahmar | 63/IX/FEB2013 | Sehat mental

Tidak ada komentar:

Posting Komentar