Jumat, 01 Juni 2012

MUKTAMAR DI LEMBAH AGHWAR


Sehat Utama | Edisi 57/viii/mei/2012


MUKTAMAR DI LEMBAH AGHWAR


Selasa, 27 Maret 2012


Terbang dari Solo diantar tim Hilal Ahmar Solo, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Langsung menuju base-camp HASI di Bekasi. Setelah Zuhur, kami berangkat ke kantor MER-C untuk berkoordinasi dan mengupdate kabar dari lapangan. Tim adventure MER-C sudah berangkat beberapa hari yang lalu. Sedangkan dr. Jose bersama Munarman sudah berangkat kemarin (Senin, 26 Maret 2012).

Di MER-C kami juga mengup-date perlengkapan yang harus dibawa. Sarimi jadi senjata utama logistik. Meski demikian, tim AWG (Aqsha Work Group) yang juga berangkat kemarin sudah membawa berkarung-karung beras. Sampai petugas bandara Soetta sempat berseloroh, “Mau jualan beras, ya Bu?” Di MER-C kami mengambil seragam resmi GMJ (terdiri dari T-Shirt lengan panjang dan sebuah jaket serta topi).
Sekitar pukul 19.00 WIB kami bertolak ke Cengkareng. Jadwal flight pukul 00.30 dinihari. Sampai di Cengkareng. Di gerbang keberangkatan, kami bertemu dengan rombongan ASPAC (Asia Pasific Community Conference For Palestine). Jumlahnya sekitar 30 orang. Jaket GMJ yang kami kenakan membuat mereka pun tahu bahwa kami rombongan GMJ. Hanya berbeda di organisasi (NGO) dan jalur keberangkatan. Tepat 00.30 WIB kami terbang meninggalkan tanah air.


Rabu, 28 Maret 2012

Sekitar pukul 06.00 waktu setempat, kami mendarat di Doha, Qatar. Penerbangan lanjutan ke Amman, Jordan dijadwalkan pukul 13.00 waktu setempat. Selama 6-7 jam menunggu penerbangan lanjutan, kami menghabiskan waktu di mushala bandara. Mengecek berbagai perlengkapan, terutama baterai alat komunikasi. Tepat pukul 13.00 waktu Doha, pesawat Qatar Airways membawa kami ke Amman. Sebelum berangkat, kami sudah mengontak tim MER-C yang berada di Amman. “Baik, kami sudah siapkan penjemputan di bandara Amman,” kata Bang Aziz, tim adventure MER-C yang berada di Amman.
Kurang lebih pukul 15.30 waktu Amman, kami mendarat di Queen Alia International Airport. Memasuki gedung bandara, hampir menuju ruang visa, seseorang menyambut kami. “Pak Ali, dari Indonesia? Saya Ramon dari KBRI,” sapanya. Wah, sambutan MER-C memang luar biasa. Dengan memakai orang KBRI mereka bisa menyambut kami sebelum pintu imigrasi.

Munarman dideportasi

Yordan adalah salah satu negara yang berbatasan langsung dengan Israel. Hubungan keduanya cukup erat, hampir tak pernah ada konflik. Itu yang membuat ada dinamika perasaan tersendiri saat menjelang bilik visa dan imigrasi. Namun, kedatangan Ramon membuat kami sedikit lega. Setiap pertanyaan yang ditujukan petugas kepada kami, selalu dijawab oleh Ramon. 15 tahun bertugas di KBRI membuat Ramon yang warga negara Philipina itu cukup dikenal petugas imigrasi. Sempat seorang petugas menegur karena tidak berada di garis antrean sebagaimana kami. Namun, setelah memberitahu statusnya, petugas pun tersenyum. “Lain kali pakai ID-Card resmi dari KBRI,” pesan petugas tersebut ramah kepada Ramon.

Keluar dari bandara, Bang Azis menyambut kami. Sambil memasuki ruang parkir, ia bercerita, sehari sebelum kedatangan kami, Munarman dan dr. Jose datang. Dr. Jose lolos, Munarman ditolak. Tak jelas apa alasannya. Meski ngotot, toh akhirnya Munarman tetap ditolak. Dia pun pulang kembali ke Jakarta. Dideportasi! Ketika didesak, pihak imigrasi hanya mengatakan, “Its not from our side.” Side, menurut dr. Jose menunjukkan ada dua belah sisi. Sisi Amman dan sisi Jakarta. Kalau penolakan Munarman bukan dari sisi (intelijen) Amman, berarti dari (intelijen) sisi satunya.

Mercy berplat CD (Corps Diplomatic) yang membawa kami terus menyusur jalan-jalan kota Amman.  Akhirnya kami tiba di apartemen yang disewa MER-C. Sebuah apartemen milik warga keturunan Palestina yang pembangunannya belum 100% selesai. Lokasinya berada di Mantiqah Shafa Badran, Hay Dzuhaibah, Mustafa Al-Tahare’ Al-Adwan St. Agak jauh dari pusat kota Amman. Suasananya cukup lengang, berdiri di antara apartemen-apartemen lain di sekelilingnya.

Kami menempat lantai tiga bersama dengan tim MER-C yang terdiri dari dr. Jose, Arman dan tiga orang staf putri lainnya. Juga ada Ust. Hafidz dari DDII. Dr Jose menyambut kami. Bersama tim MER-C, kami juga memantau perkembangan tim GMJ darat yang saat itu sedang tertahan di pelabuhan Lebanon. Pihak imigrasi Lebanon tidak memberi ijin rombongan GMJ yang terdiri dari berbagai negara itu, termasuk dari Indonesia. Tim Indonesia yang tertahan di kapal tersebut terdiri dari tim MER-C (5 orang), dua wartawan (masing-masing dari TV-One dan Metro TV), AWG (16 orang) dan VoP (3 orang).

Dalam perkembangan kabar yang diterima malam itu, atas lobi KBRI Lebanon tim GMJ Indonesia berhasil turun dari kapal. Namun, KBRI sangat menekankan agar semua tim Indonesia langsung terbang ke Amman dan jangan sekali-kali mengadakan acara GMJ di Lebanon. Bila dilanggar, pihak KBRI akan berlepas tangan. Semua tim Indonesia malam itu langsung terbang ke Amman, kecuali tim VoP. Mereka bersikeras akan menggelar GMJ di perbatasan Lebanon-Israel. Ruang tamu berukuran 7 x 4 m itu pun berubah menjadi situation room yang memantau perkembangan tim dari detik ke detik.

Malam pun beranjak larut ketika kami hendak beranjak tidur. Sebenarnya teman-teman MER-C masih ngobrol di ruang tamu. Tapi kelelahan (plus ketegangan) membuat kami berinisiatif istrihat lebih dahulu. Malam itu, di blok yang kami tempati dihuni oleh kami (HASI), MER-C dan dua orang ibu asal VoP tadi yang sama-sama sedikit tersandung masalah di imigrasi bandara.
Sayup-sayup di antara bangun dan mimpi, masih terdengar suara gaduh dari situation room.Namun dingin cukup menggigit kami untuk bangun dan bergabung dalam riuhnya suasana. Sampai akhirnya saat Subuh berkumandang, kami baru tahu kalau teman-teman dari Lebanon dini hari telah sampai di apartemen. Mereka langsung “ditanggap” dr. Jose, sehingga terjadilah pembicaraan yang riuh-rendah. Ya, suka-duka relawan…

Kamis, 29 Maret 2012

Menurut mahasiswa Indonesia yang ada di Amman, indikator baik-buruknya masyarakat Yordan itu sederhana. Apakah orang tersebut termasuk ahli masjid atau bukan. Kalau ahli masjid, hampir dapat dipastikan orang baik. Selebihnya, masih menurut mahasiswa tadi, masyarakat Yordan terkenal angkuh. Agaknya statement tersebut ada benarnya.

Mengetahui ada serombongan orang asing yang rutin shalat jamaah di masjid, beberapa orang jamaah mengajak kenalan. Sambutan mereka begitu hangat ketika tahu kami datang dari Indonesia untuk sebuah misi pembebasan Al-Quds. Sontak salah seorang dari mereka berdiri menarik iuran dari jamaah lain. Selanjutnya ia berpesan, “Nanti kalian tidak usah masak atau jajan sarapan. Biar kami yang kirim.” Akhirnya pagi itu tim dapur diperintah untuk menahan logistik.

Kira-kira menunggu 30 menit dari jadwal sarapan sebagaimana biasanya, akhirnya dua orang dari jamaah masjid tadi datang. Mereka membawa berbagai makanan; telur, daging, khubuz dan aneka macam jus untuk sarapan. Pokoknya, ruang makan itu penuh dengan aneka macam hidangan khas Timur Tengah. Sarapan dilanjutkan dengan ramah-tamah sejenak antara mereka dengan dr. Jose.

Dinner di KBRI

Kamis29 Maret 2012 Kedutaan Besar RI mengundang seluruh peserta GMJ untuk jamuan makan malam. Sekitar pukul 21.00 waktu Amman, rombongan relawan di bawah koordinasi MER-C tiba di KBRI yang berada di 13 Ali Seedo Al-Kurdi Street, Sweifieh. Disambut langsung oleh Kedubes, Bp. Zainul Bahar Noor beserta seluruh staffnya. Hadir dalam jamuan itu, rombongan relawan yang berada dalam koordinasi ASPAC. Total relawan yang hadir saat itu sekitar 1500 orang.

Setelah menmperkenalkan satu per satu staffnya, dalam sambutannya, Kedubes RI untuk Jordan Zainul Bahar Noor menyatakan KBRI turut mendukung dan berperan aktif dalam melayani relawan GMJ asal Indonesia.  GMJ adalah bagian dari sejarah. Zainul juga menilai GMJ sebagai sebuah sejarah baru yang, "it is must be."

Selanjutnya Dubes menyilakan perwakilan-perwakilan LSM untuk memberikan sambutan. Diawali dengan Bachtiar Nasir dari ASPAC, yang menyatakan bahwa tim relawan GMJ satu visi & misi meski berbeda jalur.  Disusul sambutan dari MER-C yang disampaikan langsung oleh dr. Joserizal Jurnalis.
Dr. Jose menegaskan bahwa semua harus bersatu menghadapi Zionis. "Yang ditakuti Zionis adalah beragamnya latarbelakang namun berada dalam satu misi." Karenanya, dr. Jose mengharapkan agar hari ini seluruh elemen yang bergabung dalam GMJ menampakkan ragam identitas masing-masing.
Di akhir sambutannya, dr. Jose nengharapkan agar pemerintah mempunyai sikap independen yang tidak larut dalam arus kebijakan politik Barat seperti dalam  kampanye war agains terrorrisme.

Sementara itu, Ust Ferry Nur dari KISPA dalam sambutannya memberikan apresiasi positif dari tim GMJ Indonesia jalur darat. Ia menegaskan, "Gerakan demi gerakan dari armada laut dan konvoi darat adalah bukti bahwa pembebasan Al-Aqsha telah dekat."
Hadir pula dalam acara tersebut DR Marwah Ibrahim dan rektor IAIN Sumut, Drs. Agus Salim Daulay, M.Ag. Dalam sambutannya, DR. Marwah menegaskan bahwa sekarang ini saatnya civil society. "Indonesia harus lepas dari tipuan Barat seputar prestasi negara. Tidak perlu bangga dengan G-20, G-10 dan lainnya."

Sementara Drs. Agus Salim Daulay, M.Ag menceritakan pengalamannya yang baru saja datang dari Jerusalem. "Penjagaan luar biasa ketat dalam tiap-tiap check-poin."

Menjelang akhir acara, Dubes menyilakan staf intelijen KBRI untuk menyampaikan perkembangan informasi terakhir yang dihimpun staf intelijen KBRI Amman seputar kampanye GMJ Jumat 30 Maret ini. Namun Dubes meminta agar informasi tersebut tidak dikutip media karena sifatnya yang belum tentu clear.

Menutup acara, Dubes Zainul Bahar menyilakan pimpinan delegasi untuk melakukan koordinasi terbatas terkait penyelenggaraan puncak kampanye GMJ pada hari Jumat, 30 Maret 2012. Tak lupa Dubes juga menyilakan setiap peserta yang mengalami gangguan kesehatan untuk melakukan cek medis kepada tim dokter kedutaan yang malam itu juga hadir. Dua orang dokter kakak-beradik yang merupakan warga negara Yordania.

Selesai acara dilakukan briefing kecil yang dihadiri berbagai perwakilan LSM peserta GMJ (ASPAC dan MER-C Group). Dalam pertemuan itu mereka sepakat untuk tetap bersatu dengan tetap menonjolkan keragaman identitas masing-masing LSM di bawah bendera Indonesia.

Jumat, 30 Maret 2012

Sekitar pukul 09.00 WIB kami berangkat ke Aghwar, tempat pelaksanaan puncak GMJ. Sebelumnya mampir dulu ke Gedung Niqabatul Muhandisin Al-Urduniyyin (Jordanian Engineers Association, JEA/Persatuan Insinyur Yordania). Di sana telah berkumpul kontingen GMJ dari berbagai negara. Setelah mengambil bekal air minum secukupnya dan menata ulang tempat duduk—karena di sini kami bertemu dengan Imam AWG dan rombongan yang baru datang dari umroh Jerussalem, perjalanan dilanjutkan ke Aghwar. Sebuah lembah yang berjarak 2 km dari perbatasan Israel.

Bus yang kami tumpangi berhenti di sebuah lokasi semacam tempat parkir. Dari situ, kami berjalan ke lokasi pertemuan sekitar 1 km. Selama perjalanan kaki itu kami berbaur dengan peserta dari negara-negara lain. Salah satunya sekelompok Rabbi Yahudi asal AS. Kehadiran mereka cukup menyedot perhatian massa. Mereka membawa poster yang berbunyi: Yahudi mendukung sepenuhnya kemerdekaan Al-Quds dan Palestina, serta mengharamkan setiap jengkal bumi bagi Zionisme.


MUKTAMAR DI LEMBAH AGHWAR


“Hari ini kita berkumpul di Aghwar. Di sini pula, puluhan abad lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, Abdullah bin Rawahah dan Khalid bin Walid beserta tiga ribu sahabat yang mulia datang untuk membebaskan Al-Aqsha. Hari ini kita pun datang dan berkumpul untuk membebaskan Al-Aqsha….”
(Syaikh Hammam As-Sa’d, imam dan khatib shalat Jum’at)

Puluhan ribu manusia berduyun-duyun memadati lembah Al-Aghwar, Jordan. Di padang pasir yang hanya berjarak 2 km dari Israel itu mereka datang dari 80-an negara. Mereka datang atas undangan panitia Global March for Jerussalem (GMJ), sebuah kampanye yang menuntut pengembalian Jerusalem dari kangkangan zionis Israel. Bagi kaum Muslimin, GMJ menjadi salah satu kendaraan bagi perjuangan membebaskan Al-Aqsha. Meski di mata sebagian kaum Muslimin sendiri ini adalah selemah-lemah perjuangan karena Israel hanya mengenal bahasa kekerasan.

Acara diawali dengan shalat Jumat, dengan imam dan khatib Syaikh Hammam As-Sa’d, pimpinan Ikhwanul Muslimin (IM) Jordan. Terik panas matahari tak melunturkan semangat puluhan ribu kaum Muslimin, dari anak-anak kecil hingga orang renta untuk hening mendengarkan khotbah. Salah seorang dari jamaah datang dengan dipapah untuk kemudian didudukkan di kursi roda. Dalam khotbahnya, Syaikh Hammam As-Sa’d menegaskan, sejarah pembebasan Al-Aqsha tak lama lagi akan berulang dengan “muktamar Al-Aghwar” ini.

Syaikh juga mengingatkan kepada para pemimpin Arab dan negara-negara Islam lainnya, bahwa mereka tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak membebaskan Al-Aqsha. Saatnya bagi mereka untuk mengakhiri segala macam perdamaian dan kesepakatan yang merugikan umat Islam. Kepada Obama, Syaikh berpesan bahwa sesungguhnya Al-Aqsha masih memiliki ummat pembela yang tetap akan menuntut pembebasannya. Sedangkan kepada umat Islam, Syaikh mengingatkan untuk tidak melupakan Al-Aqsha. “Sesungguhnya Al-Quds adalah tanah tempat tinggal kalian, maka bagaimana kalian bisa melupakannya?”
Usai salat Jumat, digelar orasi internasional menampilkan pembicara dari berbagai negara. Kontingen Indonesia diwakili oleh DR. Marwah Daud Ibrahim. Dalam orasinya, anggota Dewan Pertimbangan ICMI tersebut menegaskan bahwa sekarang adalah era civil society. Termasuk dalam usaha membebaskan Jerusalem dari cengkraman Israel. Sayang, fasilitas speaker kurang memenuhi standar. Sejak khutbah Jumat, terjadi gangguan sound-system membuat suara pembicara sempat terputus beberapa kali.

Namun dalam soal ketertiban, panitia layak diacungi jempol. Beberapa anak muda berseragam hijau membuat pagar betis untuk mengarahkan masa ke lokasi yang ditentukan. Sementara yang berseragam orange menjadi korlap yang mengatur pergerakan mereka. Sempat terjadi ketegangan ketika sekelompok orang mencoba untuk menerobos masuk barikade. Tak jelas apa yang mereka inginkan, apakah sekadar ingin menembus barikade, atau “menyerang” empat orang rabbi Yahudi.

Kehadiran empat orang rabbi tersebut memang menarik perhatian. Dengan tampilan khas ala Yahudi Ortodoks, mereka banyak dikerumuni massa sejak turun dari kendaraan hingga duduk di tenda sampai acara berakhir. Sementara kehadiran kontingen asal Asia Tenggara tak kalah menarik perhatian peserta dari negara-negara Arab. Postur tubuh yang berbeda membuat mereka mudah dikenali. Beberapa kali, tim Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) mendapat sapaan. Tak jarang awalnya mereka mengenali tim HASI dari Malaysia.

Ribuan massa yang datang dari berbagai negara membuat peserta tuan rumah terharu. Kehangatan suasana mudah terbentuk karena semua peserta diikat dalam satu visi dan misi demi pembebasan Al-Aqsha. Biasanya, sapaan dilanjutkan dengan foto bersama. Sementara, dari kejauhan aparat keamanan bersiap siaga dari arah perbatasan Jordan-Israel. Sebenarnya Presiden GMJ International, Ribhi Gallum dalam negoisasi dengan raja Jordan sudah menyatakan bahwa ini adalah acara non-violance. “Kami mendukung segala upaya kemerdekaan Palestina, baik violence maupun non-violence. Namun acara GMJ Jumat 30 Maret adalah murni non-violence,” kata Ribhi di depan raja Jordan sebagaimana dikutip dr. Joserizal Jurnalis.

Namun, Jordan terkenal sebagai negeri intelijen. Tentu sekecil apapun kemungkinan ancaman keamanan tidak akan ditolerir pemerintah Jordan. Jangankan sebuah even internasional yang hendak “melawan” Israel seperti GMJ ini. Bagi mahasiswa Indonesia di Jordan, berurusan dengan intel itu sudah biasa. Bahkan, Sulaiman seorang mantan anggota Fatah Palestina yang kini tinggal di Jordan dan banyak membantu akomodasi MER-C selama di Amman mengatakan, “3 dari warga Jordan, 1-nya adalah intel.” Apalagi, sehari setelah GMJ ketika tim Voice of Palestina dari Jakarta ditahan oleh imigrasi bandara Amman.

Begitulah sisi agak “angker” Jordan. Ditambah lagi, kampanye ini ditujukan melawan Israel, dilakukan di daerah perbatasan dengan negeri Zionis itu pula. Zionis Israel, yang bisa bertindak apapun semaunya tanpa pikir dan khawatir akan digugat Mahkamah Internasional. Karenanya, dalam briefing sebelum keberangkatan ke Aghwar, dr. Jose memberikan detil arahan sampai untuk mengatasi hal-hal yang kritis. Seperti bagaimana cara menghadapi kondisi saat ditangkap, atau ditembak—dari mulai gas air mata hingga peluru tajam.


Dijamu orang Yordan

Usai acara, beberapa tim GMJ MER-C berkerumun di belakang tenda. Rupanya sedang berlangsung jamuan makan. Kali ini bukan dari panitia GMJ, namun Abdullah, seorang warga Yordan yang sudah lama tinggal di Jakarta dan fasih berbahasa Indonesia. Ditemani dua orang putrinya yang masih kecil, ia melayani kami dengan ramah. Alhamdulillah, meski ke Aghwar hanya membawa bekal air, namun di sini Allah menjamu kami melalui perantaraan hambanya yang saleh. Semoga Allah memberkatimu, wahai Abdullah.
Setelah itu kami bersama-sama puluhan ribu peserta GMJ berangsur-angur meninggalkan Aghwar menuju kendaraan masing-masing. Selama pelaksanaan GMJ, kedatangan kami banyak menyedot perhatian relawan lain yang rata-rata berasal dari Yordan dan jazirah Arab. “Indunisi am Malisi?” (Anda dari Indonesia atau Malaysia?). Pertanyaan itu sering disampaikan ketika berpapasan dengan kami. Bahkan tak jarang pula mereka menyangka kami dari China. “Are you Shinni?” Biasanya, sehabis perkenalan mereka minta foto bersama.

Bus membawa kami meninggalkan Aghwar. Beberapa kendaraan militer yang semula menjaga di Aghwar, menyalip bus kami. Memasuki kota Amman, kami singgah kembali ke Gedung JEA. Lagi-lagi kami (dan seluruh undangan GMJ dari berbagai negara) dijamu makan. Di sela-sela itu, kami juga sempat ramah-tamah dengan beberapa mahasiswa asal Indonesia di Amman.

Sabtu, 31 Maret 2012

Acara GMJ telah berakhir. Kami tinggal menunggu jadwal penerbangan yang membawa kami meninggalkan kota persahabatan ini. Ya, kota di mana kami dari berbagai suku dan bangsa disatukan oleh misi yang sama: membebaskan Al-Quds.  Rute kepulangan kami bermacam-macam. Ada yang langsung ke Jakarta, namun ada pula yang mampir ke Arab Saudi untuk menempuh umroh. Maklum, jarak Yordan-Saudi cuma ditempuh perjalanan bus semalam, atau 2 jam penerbangan pesawat udara. Sebagian yang lain, ada juga yang mengisi penantian jadwal tiket ke Jakarta dengan rencana bertolak ke Gaza.

Ya Allah, terimalah perjalanan kami sebagai bagian dari amal saleh untuk menolong saudara-saudara kami di Jerusalem. Meski yang kami lakukan hanya merupakan perjuangan selemah-lemah iman. Karena kami sadar, Israel hanya paham dengan bahasa senjata bukan hanya kata-kata.
(Relawan HASI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar