Pagi ini kami sarapan telor ceplok. Teri dan abon menjadi pelengkap.
Beras arab yang panjang-panjang dimasak agak lunak menyerupai bubur.
Muhandis belum lagi bergabung di teras belakang sebab masih sibuk di
toilet yang gelap. Nikmatnya sarapan, membuat saya bernafsu menambah
nasi. Abon daging baru saja dituangkan tapi ada keributan di ruang
depan. "Tooiroh…tooiroh…" teriak para penjaga klinik. Itu
artinya pesawat-pesawat Basyar akan datang. Saya letakkan piring nasi
di meja depan. Kami bergegas memakai sepatu dan tas pinggang. Berbeda
dengan kemarin saat hujan bom dan mortar, para penjaga klinik terlihat
lebih panik pagi ini. Padahal tak ada dentuman sama sekali. Kami keluar
ruangan sementara Muhandis belum juga keluar. Ia menyusul kemudian.
Beberapa ikhwan Suriah masih tertidur pulas. Mereka segera melempar
selimut untuk bergabung di koridor basement. Jendela-jendela kaca
dibuka lebar-lebar untuk menghindari efek getaran. Saya yang tidak
memiliki basis militer sama sekali, berdiri di depan pintu tanpa merasa
berdosa. Dengan sigap Usamah sang perawat, menarik badan saya dan
menggeser ke pinggir dinding. "Jangan di depan pintu, berbahaya.."
katanya. Ia melanjutkan, "Agaknya Basyar akan mengirimkan birmil sobahul khoir…"
Kami tertawa mendengar istilah 'birmil selamat pagi'. Jika sejak pagi
begini pesawat telah hadir, artinya harus siap-siap menerima tujuh trip
paket birmil dalam sehari. Satu trip biasanya ada belasan birmil.
Itulah kebiasaan yang diceritakan Usamah dalam kuliah pagi ini.
Kami berdiri di lorong lengkap dengan sepatu boat. Tak lupa tas
passport selalu menempel di pinggang. Beberapa saat kami menunggu
dalam siaga. Sayup-sayup raungan pesawat terdengar di kejauhan sana.
Berdegup hati ini kalau tiba-tiba saja terjadi dentuman. Tak lama,
terdengar suara sepatu menuruni tangga. Pembawa handy-talky itu
berteriak, "Kembali ke kamar, keadaan sudah aman..!" Komunikasi
penduduk disini memakai handy-talky; menghubungkan front depan hingga
belakang. Ketidakfahaman kami akan ammiyah(bahasa pasaran),
membuat kami sulit mengikuti info-info yang sepertinya penting. Di
posko katibah yang pernah kami lihat, handy-talky cukup banyak
jumlahnya. Malam hari saat genset menyala, benda-benda yang lama
tergusur handphone itu dicolokkan berjajar-jajar. "Mungkin sebab
mendung mereka kembali pulang.." kata Mu'taz, bagian publikasi, yang
kameranya pernah terkena peluru dan melukai tangannya. Pagi ini cuacana
memang mendung dengan tiupan angin yang sangat kencang.
Saya tidak memasuki kamar, tempat kawan-kawan HASI. Pagi itu kami
bergabung di kamar Mustofa, perawat senior di klinik ini. Ia segera
mengambil kayu-kayu bakar untuk membuat perapian. Sementara Amjad
membuatkan kopi panas untuk kami. "Tasyrob qahwa.., turiid halwa..?" Saya
mengangguk mengiayakan. "Kalian biasa meminum kopi tanpa gula dan
meminum teh sangat manis." Ujarku menilai tradisi mereka hari-hari ini."Aiwa, shohh.." angguk
mereka membenarkan. "Wahai Amjad, kamu telah didahului Abdullah.."
Gurauku mengejek kebujangannya. Abdullah adalah kawannya sesama perawat
yang berakad nikah di kamar kami lima hari lalu. "Siapa bilang, saya
lebih dulu menikah" jawabnya tak mau kalah. "Sayalah orang yang pertama
kali menikah dalam revolusi.." tegasnya penuh kemenangan.
Lidah saya mengkerut sebab kopi yang terlalu panas. Kembali
saya letakkan cawan kopi di pinggir api. Amjad menatap saya dan
bertanya "Apa pandanganmu terhadap pernikahan saat revolusi
berkecamuk?" Mustofa ikut tersenyum menunggu jawaban saya. Dengan fushah saya
menjawab, "Wallahi, az-zawaj 'inda tsauroh, kaanna al-hayaata
mustamirroh.." (menikah saat revolusi mengindasikan kehidupan terus
berlangsung). Mereka nampak suka mendengar itu. Saya menceritakan
bagaimana romantika dalam "Turkistan Negeri yang Hilang" nya Kailani.
Romantisme dalam revolusi sepertinya sangat indah.
"Jadi istrimu kamu letakkan dimana wahai Amjad?" Tanyaku. "Di sebelah
kamar ini." Jawabnya. Mustofa menceritakan bahwa Amjad jatuh hati
dengan apoteker yang bekerja di klinik ini. Cinta bersemi sesama
sejawat kerja yang setiap hari berjumpa. Perawat bertemu apoteker. Dalam
kecamuk perang, mereka melangsungkan pernikahan beberapa bulan lalu.
"Walaakin, umruha akbar minni.." (tetapi umurnya lebih tua dari saya)
sambung Amjad.
"Dia adik saya tapi saya belum menikah" ujar Mu'taz dalam ammiyah.
Ia duduk di sebelah Amjad. Ternyata, dua orang ini adalah adik kakak.
"Jadi kalian berasal darimana…?" Tanyaku. "Nehna min Jablah.."
Jawabnya. Mu'taz agak sulit berbicara dalam fushah kendati dia
engginer kapal laut. Seperti yang pernah kubaca dalam artikel-artikel,
Jablah yang masuk Propinsi Lattakia adalah basis Nusairiyah. Dan benar
saja.., Mu'taz membuka cerita di pagi ini. Semalam ia mengontak
keluarganya yang kini terisolasi di tengah-tengah kaum Nusairi. Ia
mendapat cerita bahwa tadi malam orang-orang Nusairi berkonvoi di
jalan-jalan. Mereka berteriak-teriak "Ini wilayah kami.. ini wilayah
kami…, Kaum Sunni… hengkanglah dari sini…!" Kalimat itu diteriakkan
berulang-ulang di jalan-jalan.
Saya jadi teringat kisah Jalal beberapa hari lalu bahwa Lattakia
akan diproyeksikan sebagai benteng akhir Nusairi. Informasi-informasi
intelejen yang sulit dikonfirmasi menyebutkan adanya pemindahan
senjata-senjata ke pegunungan oleh Kelompok Basyar. Wacana tentang
pembagian Negara menjadi Sunni dan Nusairi Alawiyah juga pernah muncul
di media-massa. Saya kesulitan melacak dari mana ide itu muncul; dan
sampai dimana perkembangan ide itu? Apalagi koneksi internet disini
tidaklah mudah. Untuk berlangganan internet satelit, mujahidin disini
harus merogoh kocek 1000 dolar setiap bulan. Angka 10 juta rupiah di
Indonesia tentu sudah sangat tinggi hanya untuk akses internet. Semoga
kawan-kawan yang membaca tulisanku ini bisa mendalami sendiri.
"Kamu tau kenapa mereka selalu menjatuhkan birmil dan bom?" Tanya
Jalal suatu ketika. "Kenapa?" jawabku. "Sebab target mereka membuat PR
jangka panjang…" katanya. Saya tak mengerti maksud kalimat itu sampai
Jalal kembali menjelaskan, "Jika nanti Nusairiyah berpindah ke
Lattakia, dan misalnya sampai membuat Negara baru, recovery dari
bangunan yang hancur lebur itu memerlukan waktu lama. Kami akan dibuat
sibuk hingga lupa memerangi Israel…" urai Jalal. "Apa kamu tidak tau
bahwa sebenarnya Basyar itu kawan Israel..?" tutup Jalal. Statement
terakhir ini hampir menjadi pengetahuan umum disini. "Joulan dijual
oleh Hafed Asad.." kata Usamah yang masih memakai selimut. Misteri
penjualan Dataran Tinggi Gholan memang banyak diceritakan oleh
kawan-kawan Hafed Asad; termasuk mantan PM Jordania pada zamannya.
Mustofa gembira sebab usahanya menyalakan api tidak sia-sia.
Kayu-kayu yang masih agak basah memerlukan waktu lama untuk menjadi
bara. Seperti cara saya menyalakan perapian sate di Indonesia, ia juga
menggunakan plastik dan tissue untuk pemantik. Ruangan kami menjadi
sangat hangat. Dua cawan kopi pekat telah memenuhi perut ini dan saya
tak berani menambah lagi. "Dimana istrimu bertempat tinggal wahai
Mustofa..?" tanyaku."Di Turki.." jawabnya. Ia punya anak perempuan yang
masih bayi. "Anak saya lahir bertepatan dengan pembebasan Salma oleh
mujahidin" katanya. "Jadi, kamu beri nama anakmu Salma?" tanyaku. Ia
menggeleng sambil tersenyum. Anaknya yang masih bayi agaknya menjadi
sebab istrinya mengungsi.
Bom Birmil yang tidak meledak dengan izin Allah Subhanahu Wa Ta'ala
"Kamu berasal dari mana Mustofa?" tanyaku. "Saya dari Syam .."
jawabnya. Dia memahami kebingungan saya dan bertanya, "Kamu tidak tau
Syam?" Saya menjawab bahwa pemahaman saya Syam itu terdiri dari empat
Negara: Palestina, Jordania, Suriah dan Lebanon. "Itu Biladus Syam.."
kata Mustofa mengoreksi. "Jika disebut kota Syam, maka yang dimaksud
adalah Demaskus" tambahnya. Pagi ini, saya mengerti apa beda kota Syam
dan negeri Syam. Mustofa bercerita bahwa bapaknya berdinas di militer
Hafed Asad. Dinas militer membuat keluarganya diboyong ke Lattakia
sejak ia beranjak dewasa.
"Apakah Bapakmu Jenderal?" tanyaku. "Tidak, dia hanya perwira
menengah. Sangat sulit bagi sunni bisa menjadi Jenderal" Jelasnya.
Mustofa menceritakan pengalamannya mengadu nasib berkarir di militer.
"Saya dulu tergolong pelajar pintar dan berprestasi; nilai akademik saya
bagus," jelasnya. Penjelasannya soal 'pintar' sebab ia sedang
membandingkan dengan umumnya Nusairiyah yang IQ-nya jongkok. Saya jadi
teringat kata-kata Umar kemaren hari. Tetangga paman Basyar di
Lattakia itu berkata, "Kaum Nusairi itu seperti donkey, sangat bodoh.."
Kami tertawa mendengar pengucapan 'donkey' yang aneh di telinga.
Dan Mustofa mendaftarkan diri ke angkatan darat, laut, juga udara.
Saat menunggu hasil penerimaan, Ia dipanggil perwira senior, "Melihat
prestasimu kamu berbakat menjadi Jenderal. Sayang sekali, kamu Sunni
dan dari Salma." Mustofa ditolak sebab Sunni dan berasal dari Salma.
Orang Salma –kata Usamah- masuk garis merah sebab dahulu pernah menjadi
basis Ikhwanul Muslimin. "Bibi saya dipenjara enam tahun oleh rezim
Assad." Kata Mustofa. Kami segera telibat dalam diskusi soal buku-buku
Sayyid Qutb. Gagal di militer, Mustofa kemudian berkarir dalam dunia
medis sebagai perawat assisten bedah. Pengalamannya dalam dunia bedah
sudah lebih dari sepuluh tahun. "Saya biasa membedah perut orang dan
memperbaiki organ dalamnya dalam keadaan senang." Kini ia menjadi
andalan saat terjadi korban luka di klinik Salma.
Jabal Akrod, 5 Pebruari 2013
Abu Zahra, Tim Relawan Kelima HASI untuk Suriah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar