Minggu, 11 Maret 2012

MAKAN YANG HALAL

Renungan | Majalah Hilal Ahmar  Edisi 54/VIII/Februari/2012

 

MAKAN YANG HALAL

Syaikh Abdullah Azzam menceritakan pengalaman pribadinya dalam buku kumpulan ceramahnya mengenai kehati-hatian seorang ulama di Syam terhadap makanan yang dimakan.

Suatu hari, Mulla Ramadhan masuk ke rumah saya (Syaikh Abdullah Azzam), beliau adalah ayah doctor  Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi-seorang ulama besar Syafi’i di Syam. Saya tawarkan kepadanya makanan, namun beliau menolaknya. Saya terus memaksanya, namun beliau tetap saja menolaknya. Saya tetap terus memaksanya, namun beliau tetap saja menolaknya. Lalu teman yang mengiring jalannya mengatakan: “Makanlah makanan Abdullah.” Maka beliau menjadi malu pada saya dan akhirnya mengatakan dengan terus terang: “Saya akan memakan makananmu, akan tetapi saya tidak akan makan makanan anak saya, sebab dia menerima gaji dari pemerintah.” Beliau tidak mau memakan makanan anaknya yang bekerja sebagai dosen di Fakultas Syari’ah! Putranya adalah dosen kami. Beliau tidak mau  makan dari makanan putranya karena dia menerima gaji dari pemerintah. Beliau memandang harta atau uang pemerintah telah bercampur, yang halal dengan yang haram. Maka dari itu, beliau tidak mau memasukkan makanan anaknya ke dalam mulutnya.


Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mu’minun 51).
Berkata Abu Abdullah al Baji : “Lima perkara yang membuat sempurnanya amal. Jika salah satu ada yang hilang, maka amal tersebut tidak dapat naik- untuk diterima dan diberi ganjaran, yakni : iman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, mengetahui kebenaran, ikhlas dalam beramal karena Allah, mengetahui sunnah dan memakan barang yang halal”. Kelima perkara ini, jika ada salah satu yang ketinggalan, maka Allah tidak akan menerima amalan seseorang yang tidak mengenal-Nya.

Maka sudah menjadi keharusan bagi orang yang beramal untuk mengenal Allah dan mentauhidkan-Nya. Apabila seseorang telah mengenal Tuhannya, maka ia harus mengenal kebenaran dan mengikutinya. Jika ia telah mengikuti kebenaran, maka ia harus mengetahui petunjuk dan bimbingan Rasululah [Shallahu ‘Alaihi Wassalam] dalam penerapan nash-nash Alah, karena itu ia harus mengetahui sunnah. Semua itu tidak mungkin akan diterima Allah jika tiada nampak keikhlasan dan kebenaran dari dalam niat si pelaku amal. Dan semua itu tergantung pada tenaga kekuatan yang dipakai untuk berbicara dan tenaga untuk menggerakkan tangan dan anggota badan sehingga anggota badan bisa melakukan amal. Jika tenaga yang dipakai itu bersumber dari makanan yang haram, maka Allah tidak akan menerima perkataan dan amalan yang bahan bakarnya dari makanan yang haram. (suna).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar