DAMAI DI RUMAH
Rumahku adalah surgaku. Keluarga menjadi kekuatan inti masyarakat Islam dengan menggariskan sejumlah ketentuan dan hukum-hukumnya. Ketentuan pertama adalah akad nikah atau ijab qabul. Ini harus berdasarkan kerelaan kedua belah pihak. Seorang wanita tidak boleh dinikahkan tanpa persetujuan darinya terlebih dahulu. Ketentuan kedua adalah pengumuman pernikahan. Ini menjadi syarat penting bagi suatu pernikahan. Ikatan pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tanpa saksi-saksi yang benar adalah tidak sah.
Kalau salah satu pihak mengatakan bahwa ikatan pernikahan ini hanya berlaku sementara saja, maka ikatan tersebut batal. Pernikahan seharusnya menjadi ikatan abadi, sehingga kedua pihak dapat membina hubungan yang kekal. Kalau tujuan ini tidak ada, maka pernikahan sama saja dengan perjanjian hampa. Tidak ada artinya sama sekali.
Untuk menumbuhkan suasana yang serasi dalam kehidupan keluarga, Islam meletakkan tanggungjawab pemeliharaannya pada suami. Istri mempunyai cukup waktu untuk menjaga rumah dan mendidik anak-anak. Seorang istri yang juga mencari nafkah, sukar menumbuhkan suasana gembira dan nyaman di rumahnya dan tidak akan mampu mendidik anak-anaknya dengan sewajarnya. Sebuah rumah tangga yang pihak istrinya bekerja, mirip losmen kecil. Rumah tangga semacam ini selalu kekurangan sentuhan tangan lembut yang merupakan ciri rumah tangga sebenarnya. Sentuhan ini hanya bisa diberikan oleh seorang ibu kepada anak-anaknya. Bila dia meluaskan kegiatan jasmani dan ruhaninya untuk bekerja di luar, maka hanya kecapekan, kegelisahan dan kebosanan sajalah yang tersisa bagi keluarganya.
Dalam keadaan memaksa, wanita yang sudah menikah boleh bekerja. Tapi jika mereka dengan sukarela bekerja, padahal sesungguhnya mereka tidak membutuhkannya, hal itu sama artinya dengan menciptakan kehidupan anak-anak tak ber-ibu. Anak-anaknya terlantar dan mungkin hidupnya akan tersesat akibat kurang mendapat bimbingan.
Untuk menenteramkan rumah tangga dan menyelesaikan setiap perselisihan yang mungkin meruntuhkannya, Islam mewajibkan suami menjadi penyokong dan pelindung. Ini sesuai benar dengan kebijakan Islam tentang ketertiban- yang menetapkan agar setiap kelompok, sekalipun terdiri dari tiga orang, hendaknya memilih salah satu diantaranya menjadi pemimpin.
Tapi, kapal tentu punya nahkoda. Begitu pula dengan rumah tangga, harus ada seorang pemimpin yang bertanggungjawab dalam melahirkan ketertiban dan suasana rukun. Dalam pandangan Islam, pilihan siapa saja yang memimpin mudah saja. Kita harus memilih antara isteri yang lazimnya memikul tugas-tugas rumah, tanggung jawab keibuan, dan suami yang berkewajiban mendukung kehidupan seluruh keluarganya. Pimpinan yang diberikan kepada suami karena dialah yang lebih cocok untuk peran itu.
Kalau disederhanakan lagi, maka segala pertentangan yang timbul antara pria dan wanita di zaman sekarang ini, akan menjadi mudah diatasi. Sebab pada pembagian peran itulah titik pangkalnya.
Sistem keluarga semacam ini dimaksudkan sebagai sumber kedamaian dan tempat bertambah keamanan atau ketenteraman manusia. (snd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar