Cegah radikal bebas dengan Antioksidan
Antioksidan?!
Seringkali kita mendengar istilah ini, terutama sebagai suatu zat yang dapat menjadi penangkal radikal bebas. Sebagaimana telah dijelaskan pada edisi sebelumnya mengenai radikal bebas, yakni suatu senyawa yang merusak jika terdapat dalam tubuh kita. Senyawa ini ada yang bersifat alami terbentuk dari hasil metabolisme dalam tubuh kita, adapula yang terbentuk dari hasil pengaruh luar tubuh, seperti asap rokok, radiasi, polusi dan sebagainya. Adanya senyawa radikal yang bebas berkeliaran dalam tubuh kita dapat menyebabkan organ maupun jaringan dalam tubuh mengalami kerusakan. Sifat merusak dari radikal bebas ini dapat dinetralisir oleh adanya suatu antioksidan.
Sebagaimana namanya, antioksidan merupakan penghambat oksidasi dari radikal bebas yang merusak dengan cara oksidasi senyawa. Penghambatan antioksidan adalah dengan memberikan elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tidak lagi memiliki kemampuan untuk merusak dengan cara “mencuri” elektron dari sel dalam tubuh.
Sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan terhadap serangan radikal bebas, secara alami telah ada dalam tubuh kita. Dari asal terbentuknya, antioksidan ini dibedakan menjadi dua yakni intraseluler (di dalam sel) dan ekstraseluler (di luar sel) atau pun dari makanan. Dari sini antioksidan tubuh bisa dikelompokkan menjadi 3 yakni:
Antioksidan primer
Antioksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentuk senyawa radikal bebas baru. Ia mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi.
Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas. Enzim SOD sebenarnya sudah ada dalam tubuh kita. Namun bekerjanya membutuhkan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng, dan tembaga. Selenium (Se) juga berperan sebagai antioksidan. Jadi, jika ingin menghambat gejala dan penyakit degeneratif, mineral-mineral tersebut hendaknya tersedia cukup dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari.
Antioksidan sekunder
Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Contoh antioksidan sekunder: vitamin E, vitamin C, beta karoten, asam urat, bilirubin, dan albumin.
Antioksidan tersier
Antioksidan jenis ini memperbaiki kerusakan sel-sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas. Contoh enzim yang memperbaiki DNA pada inti sel adalah metionin sulfoksidan reduktase. Adanya enzim-enzim perbaikan DNA ini berguna untuk mencegah penyakit kanker, misalnya.
Selain berbentuk zat gizi seperti vitamin C dan D, antioksidan dapat pula berupa zat non-gizi seperti pigmen (karoten, likopen, flavonoid, klorofil) dan enzim (glutation peroksida, koenzim, Q-10 atau ubiquinon). Karoten banyak pada wortel, ubi rambat, semangka, bayam, kangkung, jeruk. Likopen pada tomat. Flavonoid pada wortel, jeruk, brokoli, kol, mentimun, bayam, tomat, merica dan terung.
Bila konsumsi mineral seperti seng, selenium, tembaga, vitamin E dan C serta beta karoten cukup, maka tidak diperlukan suplemen. Suplemen berupa pil, kapsul, dll hanya diberikan bila makanan berantioksidannya belum memenuhi angka kebutuhan gizi yang dianjurkan.
Dalam makanan sehari-hari antioksidan banyak terdapat dalam sayuran dan buah-buahan. Sedangkan tempe dan ikan laut dapat memusnahkan atau meminimalkan pembentukan radikal bebas.
Selama lebih dari setengah abad antioksidan telah dimanfaatkan dalam pengolahan pangan untuk menghambat kerusakan makanan. Biasanya antioksidan ini ditambahkan pada makanan yang mengandung lemak atau minyak, buah segar atau sayuran agar tidak cepat rusak. Senyawa ini juga dapat untuk mencegah perubahan warna dan rasa yang disebabkan oksigen di udara (pada apel, pisang yang mengandung enzim tertentu).
Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas. Oleh karena itu, para ahli nutrisi menyarankan agar kita sering mengonsumsi produk yang mengandung banyak variasi antioksidan, kombinasi vitamin, mineral, dan zat berkhasiat lainnya.
Vitamin antioksidan yang cukup terkenal adalah vitamin C dan E. Vitamin C mencegah oksidasi pada molekul yang berbasis cairan, misalnya plasma darah dan mata. Sedangkan vitamin E yang larut dalam lemak bekerja pada sel lipid dan sirkulasi kolesterol. Cara kerja vitamin E sebagai antioksidan adalah dengan menyumbangkan elektron kepada radikal bebas. Karena itu, vitamin E yang kaku akan berubah menjadi vitamin E yang radikal. Untuk menjinakkannya, diperlukan vitamin C yang akhirnya akan membuat vitamin C juga menjadi radikal. Di sinilah, glutation (suatu enzim penetralisir dalam tubuh) akan muncul untuk menetralkannya.
Jika vitamin C dan E bertindak sebagai antioksidan langsung, mineral sendiri akan berperan sebagai komponen antioksidan tubuh (endogen). Selenium, misalnya, merupakan komponen penting glutation peroksidase. Selenium juga bekerja secara sinergis dengan vitamin E. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet menyatakan bahwa mereka yang kekurangan selenium akan lebih berisiko menderita kanker dibandingkan mereka yang berkecukupan selenium.
Seng (Zn) juga merupakan mineral antioksidan yang cukup penting. Seng akan membantu mencegah oksidasi lemak dan diperlukan oleh tubuh untuk memproduksi antioksidan superoksida dismutase. Keberadaan seng dibutuhkan juga untuk menjaga kadar vitamin E dalam darah sehingga membran sel darah merah dapat terlindungi dari efek oksidasi mineral lainnya.
Zat antioksidan dalam tumbuhan dibedakan menjadi flavonoid yang larut dalam air dan karotenoid yang larut dalam lemak. Flavonoid mampu memperbaiki ketidakseimbangan sistem antioksidan dalam tubuh. Diketahui ada lebih dari 4.000 jenis flavonoid, seperti epigalokatekin dalam teh hijau, isoflavon dalam kedelai, dan lain-lain. Contoh karotenoid yaitu beta karoten, alfa karoten, likopen, dan lutein. Ada sekitar 700 karetonoid di alam dan sekitar 50 jenisnya dapat diserap oleh tubuh. Beberapa karotenoid dapat berperan sebagai pembentuk (prekursor) vitamin A dan mampu memerangi radikal bebas.
Meskipun diketahui bersifat baik, antioksidan yang berlebihan juga dapat berbahaya bagi tubuh. Vitamin C yang berlebihan akan berpotensi menjadi vitamin C radikal yang bersifat radikal bebas, sehingga glutation tidak cukup untuk menetralkannya. Selain itu, kelebihan vitamin C (sintetis) akan membuat ginjal bekerja semakin keras. Begitu juga dengan vitamin E. Sebuah teori menyatakan bahwa kelebihan vitamin E dapat mengganggu proses pembekuan darah. Selain itu, vitamin E juga dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh yang mangandung lemak (misalnya organ hati) dan berpotensi dapat meracuninya.(Farida Yanuarti D.K. S. Farm Apt)
Wallahu a`lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar