Sepotong Kata | Edisi 57/viii/mei/2012
Kubakar Rumah-rumah mereka!
Abu Hurairah r.a berkata, “Rasulullah saw masuk ke
masjid untuk melakukan shalat Isya’ yang terakhir. Tiba-tiba
orang-orang banyak sekali bercerai (tidak berjamaah). Seketika itu Nabi
sangat marah, yang dahsyatnya belum pernah kulihat sebelumnya. Beliau
bersabda:
“Jikalau ada seorang lelaki memanggil orang-orang itu untuk (makan) tulang atau dua kuku kambing maka mereka akan mendatanginya, tetapi (ketika mendengar panggilan azan) mereka justru meninggalkan shalat (jamaah). Sungguh aku telah berniat untuk memerintahkan seorang lelaki agar mengimamai shalat orang-orang lalu aku ikuti orang-orang yang meninggalkan shalat ini hingga kubakar rumah mereka dengan api.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad)
Di dalam riwayat Muslim, diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, “ Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya
shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’
dan shalat Shubuh. Jikalau mereka mengetahui apa yang ada keduanya,
niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak. Sungguh
aku telah berniat untuk memerintahkan shalat hingga didirikan shalat,
lalu kusuruh seseorang mengimami orang-orang. Kemudian aku pergi
bersama orang-orang yang membawa sebongkah kayu kepada kaum yang tidak
menyaksikan shalat hingga kubakar rumah-rumah mereka dengan api’.” (HR Muslim)
Kata hamamtu artinya berniat dan bertekad,
dan ada juga yang berpendapat bahwa artinya adalah berkeinginan yang
tidak sampai pada derajad ‘tekad’. “Kemudian aku perintahkan seorang lelaki untuk mengimami orang-orang,”
dan dalam riwayat Bukhari, “Lalu aku perintahkan shalat hingga
dikumandangkan azan dan kuperintahkan seseorang mengimami orang-orang.”
Al-Hafidz dalam kitab Al-Fath berkata, “Ini adalah rukhshah bagi imam
atau wakilnya untuk meninggalkan jamaah guna mengeluarkan orang-orang
yang bersembunyi di rumah dan meninggalkan shalat.”
Al-Aini berkata, “Bahwa shalat yang dimaksud adalah
shalat Isya’, dalam riwayat lain shalat Subuh, dalam riwayat lain
shalat Jumat, dan dalam riwayat lain bagi orang-orang yang meninggalkan
shalat secara mutlak. Semuanya tidak bertentangan karena ada
kemungkinan berbedanya kejadian dan peristiwa. Uharriqa menggunakan tsydidi artinya adalah membumihanguskan. “Terhadap rumah-rumah mereka,’
tampak sekilas bahwa balasan orang-orang yang meninggalkan jamaah
tidak hanya pada harta saja, termasuk juga orang-orang yang ada di
dalamnya. Berkata pengarang kitab Al-Mirqaatu bahwa hukuman
ini umum untuk setiap manusia. Ada yang mengatakan maksud dari hadits
ini adalah orang-orang munafik yang tampak kemunafikannya atau orang
yang rgu dalam agamanya.”
Imam Nawawi berkata, “Sebagain ulama mengatakan
bahwa hadits ini menunjukkan bahwa hukuman pertama bagi mereka adalah
hukuman harta.” Ulama yang lain mengatakan, “Para ulama sepakat untuk
melarang membakar rumah selain orang yang meninggalkan shalat ataupun
orang yang mengambil harta rampasan. Menurut jumhur, harta mereka juga
tidak boleh dihilangkan.”
Al-Hafidz mengatakan dalam kitabnya Al-Fath bahwa
hadits ini muncul berkenaan dengan orang-orang munafik. Hal ini
berdasarkan sabda beliau sebelumnya bahwa sesungguhnya dua shalat yang
paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya’ dan Subuh.
Serta sabda beliau, “ Jikalau salah seorang dari mereka menemukan adanya tulang,”
dan seterusnya. Semua sifat ini cocok untuk orang-orang munafik dan
tidak patut bagi orang-orang mukmin sedikit pun. Atau bisa juga
kemunafikan yang dimaksud adalah kemunafikan maksiat bukan kemunafikan
kafir. Sebagaimana hadits riwayat ‘Ajlan bahwa “mereka tidak
menyaksikan Isya’, “ dan seperti hadits Usamah bahwa “mereka tidak
menyaksikan shalat Isya’.”
Lebih jelasnya kami sampaikan hal ini dalam riwayat Yazid bin Al-Asham dari Abu Hurairah dalam riwayat Abu Dawud, “Kemudian aku datangi kaum yang shalat di rumah mereka tanpa alasan.” Hadits
ini menunjukkan bahwa kemunafikan mereka adalah kemunafikan maksiat
dan bukannya kemunafikan kafir. Karena, orang kafir tidak shalat di
rumahnya tetapi ia shalat di masjid mencari riya’ dan sum’ah. Jika ia
berada di rumah maka ia menjadi seperti yang disifati Allah yaitu kafir
dan mengejek sebagaimana dijelaskan oleh al-Qurthubi.
Begitu juga dengan riwayat Al-Muqbiri, “Jikalau di rumah-rumah tersebut tidak ada perempuan dan anak-anak.” Hal
ini menunjukkan bahwa mereka tidaklah kafir. Karena, membakar rumah
orang kafir tidak terlarang jika dengan hal tersebut mereka dapat
terkalahkan, walaupun di dalamnya ada perempuan dan anak-anak. Jika
maksud hadits di atas adalah munafik kafir maka membakar rumah ini juga
bukan sebuah kewajiban. Hal ini disebabkan, ada kemungkinan hadits ini
sebagai berita bahwa meninggalkan jamaah adalah termasuk dalam sifat
orang-orang munafik yang kita dilarang menirunya. Adapun hadits ini
menurut alur ceritanya, menunjukkan bahwa kewajiban membakar mereka
maksudnya adalah sebagai pembesaran akan celaan terhadap orang-orang
yang meninggalkan jamaah saja.
Shalat jamaah adalah perkara yang sangat besar
dan tidak boleh ditinggalkan
Dikutip dari : Jangan Bikin Rasul saw. Marah, karya Muhammad Al-Mujahid diterbitkan oleh Aqwam cetakan I Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar