PENYEBAB KELAINAN TINGKAH LAKU PADA ANAK
Anak Sehat     | Edisi : 55/VII/Maret/2012
penulis : dr. Meti Dewi Astuti
penulis : dr. Meti Dewi Astuti
Adalah suatu harapan dan cita-cita dari para orangtua, guru, maupun masyarakat pada umumnya untuk memiliki anak-anak yang sehat jasmani dan rohani. Betapa tenang dan tentramnya hati bila melihat anak-anak bermain riang gembira, pandai, tekun dalam belajar dan bekerja, bebas dan lincah dalam mengutarakan buah pikiran dan kreativitasnya, banyak teman dan dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam berbagai lingkungan dimana ia berada.
Harapan ini tentu menyangkut pertumbuhan dan 
perkembangan  yang paling optimal dari  segi fisis,    emosi,   mental 
dan social setiap anak. Tetapi suatu kenyataan yang tidak dapat  
dipungkiri adalah adanya sejumlah anak yang memperlihatkan perilaku 
sumbang,    bertingkahlaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku, 
 baik norma budaya,   norma umur,  norma kecakapan / ketrampilan maupun 
norma social yang berlaku  dalam lingkungan dimana anak berada. 
Tingkahlaku mereka mengalami gangguan dan  kelainan (disorder),   yang 
biasanya lebih dirasakan oleh lingkungannya daripada  oleh anak sendiri.
 
Suatu kelainan tingkah laku tidak hanya disimpulkan 
 berdasarkan pada tampaknya satu jenis /bentuk tingkahlaku yang 
spesifik,  tetapi  berdasarkan gejala-gejala jamak yang sifatnya terus 
menerus dan menyebabkan orang  yang mengalami kelainan ini lumpuh secara
 social. 
Pada anak-anak,   kelainan tingkahlaku itu biasanya 
berkaitan  dengan tahap perkembangan dan situasi tertentu,  misalnya 
anak berusia 5 tahun  masih suka mengompol bila di rumah sendiri,  
tetapi bila menginap di tempat lain  ia tidak mengompol ; anak usia 
sekolah dasar di sekolah sangat agresif dan  mengganggu,   sedangkan di 
rumah sama sekali tidak demikian atau sebaliknya.   Dari kedua contoh di
 atas nyata bahwa tidak mudah untuk menentukan apakah  sesuatu kelainan 
tingkahlaku yang diperlihatkan anak merupakan suatu  penyimpangan. 
Tetapi,   dari pendapat para ahli,   dapat disimpulkan bahwa suatu  
kelainan harus dipandang dari sudut interaksi antara anak dengan 
lingkungannya  atau dengan perkataan lain adanya kelainan tingkahlaku 
merupakan tanda adanya  masalah dalam interaksi ini. 
Seringkali dipertanyakan mengapa di dalam suatu 
keluarga  yang biasa saja,   terdapat anak yang manis dan baik,  tetapi 
ada juga yang nakal,   bandel,   sukar diatur bahkan sering menimbulkan 
kesulitan.  Hal ini berkaitan  dengan konsep risiko yang menerangkan 
bahwa disatu pihak memang ada prakondisi  yang memungkinkan terjadinya 
kelainan tingkahlaku dan di pihak lain adanya  stress,  trauma,   
pengaruh buruk dalam lingkungan. Kedua unsure konsep resiko  ini 
diterangkan melalui contoh berupa 3 boneka,   sebagai prakondisinya 
ialah  satu dari kaca,   satu dari seluloid dan satu lagi dari baja. 
Ketiga boneka  tersebut dipukul dengan palu yang berkekuatan sama 
(sebagai pengaruh dari  lingkungan). Akibatnya satu menjadi pecah,   
satu hanya tergores dan yang satu  lagi justru menimbulkan suara 
nyaring.  Kedua unsure ini,  yaitu unsure individu  dan unsure 
lingkungan merupakan dua hal yang paling mempengaruhi untuk  terjadinya 
kelainan tingkahlaku.  Ada 5 macam resiko yang dapat merupakan  penyebab
 kelainan tingkahlaku,   yaitu
- factor turunan (heredity)
 - factor bawaan (constitutions)
 - lingkungan (environment)
 - situasi dan pengalaman (situations and experiences)
 - segi perkembangan (ponts in development)
 
Berikut penjelasan dari kelima macam factor risiko tersebut  :
1. Factor turunan
Dalam hal ini dimaksudkan  semua unsure yang berhubungan dengan 
factor genetic yang memungkinkan  terjadinya kelainan tingkahlaku.  
Seorang peneliti bernama Anthony mendasarkan  penelitiannya pada 
anak-anak yang mempunyai salah satu atau kedua orangtuanya  penderita 
skizofren (kurang waras) dan ternyata 18% dari sample menjadi seperti  
orangtua mereka.  Anak-anak pada masa kanak-kanaknya menunjukkan 
tingkahlaku  menarik diri,   curiga dan tiba-tiba regresi.  Dengan 
demikian berarti kepekaan  untuk bertingkahlaku lain dari yang lain 
telah ditentukan secara genetis,   sedang factor lingkungan hanya 
tinggal mencetuskannya saja. 
2. Factor bawaan
Setiap orang dilahirkan  dengan konstitusi (factor bawaan) yang 
unik. Konstitusi ini menyangkut  tanda-tanda fisis dan temperamen. Tanda
 fisis misalnya hidung mancung,   mata  jeli,   raut muka cantik/cakap, 
 atau keadaan yang sebaliknya.  Hal ini dimiliki  sejak lahir dan dapat 
mempengaruhiperkembangan anak,   misalnya dalam bentuk kualitas  
hubungan anak dengan orangtua,   teman-teman dan sebagainya. Lingkungan 
 cenderung memberikan respons positif terhadap anak-anak yang menarik 
daripada  anak yang mempunyai kelainan.  Dalam hal temperamen (gaya 
tingkahlaku  seseorang),   beberapa peneliti mengemukakan adanya pola 
gaya tingkahlaku yang  sifatnya individual.  
Ada beberapa temperamen yang  tidak langsung menyebabkan 
kelainan,   tetapi merupakan predictor dari timbulnya  kelainan 
tingkahlaku (misalnya ketidakteraturan ; ketidaksesuaian,  respons 
menarik  diri,   mood yang negative dalam intensitas yang tinggi). Untuk
 mengetahui  apakah temperamen mempunyai andil dalam kelainan 
tingkahlaku seseorang,    diperlukan suatu penelitian tentang hubungan 
temperamen tertentu yang dimiliki  anak tersebut dengan lingkungannya.  
Misalnya seorang anak yang memiliki  tingkah aktivitas yang tinggi,   
tentu akan senang untuk aktif,   bergerak kesana  kemari.  Tetapi bila 
ia dihadapkan kepada lingkungan yang membatasinya dan  menekankan 
keteraturan,   maka akan timbul keluhan dari lingkungan atau orangtua  
bahwa anak tersebut merupakan anak yang tidak rapih,   tidak tekun,  
keras kepala  dan sebagainya.  Ketidaksenangan yang timbul pada kedua 
belah pihak akan  memudahkan tercetusnya kelainan tingkahlaku. 
3. Factor lingkungan
Dalam hal ini dimaksudkan  hal-hal dalam lingkungan yang dianggap 
mengandung risiko tinggi untuk  terjadinya kelainan tingkahlaku,  yaitu :
- Lingkungan nonfamilial (tidak mengandung suasana kekeluargaan), Suatu penelitian yang dilakukan oleh Spitz membuktikan bahwa anak-anak yang tinggal di suatu lembaga akan mengalami deprivasi, yakni disamping mengalami keadaan terpisahkan dari orangtua, kemiskinan dan malnutrisi, juga menderita kekurangan rangsangan sensoris, isolasi social dan budaya,. Deprivasi pada masa dini merupakan kunci terjadinya kelainan tingkahkaku. Untuk mendapatkan kesejahteraan jiwa, seseorang hendaknya mendapatkan kehangatan, kemesraan dan hubungan yang erat dari tokoh Ibu pada masa awal kehidupannya.
 - Kelainan hubungan antara orangtua dengan anak ; Sikap umum orangtua terhadap anak ialah menerima atau menolak. Bila terdapat sikap menerima yang berlebihan, maka akan timbul sindrom overproteksi. Orangtua yang menerima anak tetapi dengan cara menguasainya (otokratik), akan memupuk ketergantungan yang berlebihan, pasif, hubungan yang buruk dengan teman sebaya,. Sebaliknya bila sikap menerima dilakukan dengan cara member kebebasan penuh pada anak, maka akan terjadi anak dengan indulged type, yaitu anak yang tidak patuh, banyak menuntut, ingin selalu menguasai dan sebagainya. Dengan sikap menolak, maka kontak dan perhatian terhadap anak sangat kurang atau bahkan tidak ada, sehingga anak seperti ini tidak pernah mendapatkan pengawasan dan mudah menjadi nakal, agresif dan bertingkahlaku antisosial.
 - Kelainan dalam keluarga, orangtua yang secara psikologis tidak berhasil untuk berkembang, dapat menyebabkan gangguan / kekacauan dalam vectoral relationship. Pada anak akan didapatkan penyesuaian yang salah akibat orangtua yang terlalu mengabdikan diri pada anak sehingga melupakan pengembangan dirinya sebagai orangtua atau sebaliknya terlalu banyak menuntut dari anak. Demikian pula karena di dalam keluarga terjadi penerusan nilai-nilai norma budaya, maka suatu kelainan tingkahlaku dapat saja dijangkitkan melalui hubungan orangtua dengan anak. \
 - Orangtua yang sakit ; Anak sangat peka terhadap suasana yang diakibatkan oleh orangtua yang terganggu atau yang mengganggunya.
 
4. Factor situasi dan pengalaman
Contoh umum mengenai situasi  yang dapat mempunyai nilai risiko untuk
 terjadinya kelainan tingkah laku ialah  keadaan perpisahan .  Beberapa 
peneliti  menemukan banyak delikuensi (kenakalan) pada anak yang 
kehilangan ayahnya,   dan  gangguan tingkahlaku ini biasanya belum 
muncul dalam 5 tahun setelah kematian  orangtua.  Situasi dan pengalaman
 yang mempunyai risiko tinggi lainnya adalah  perawatan di rumahsakit,  
 penyakit dan berbagai trauma psikis. 
5. Factor perkembangan
di dalam psikologi  perkembangan dikenal adanya periode kritis yaitu 
saat dimana masa depan dari  pola tingkahlaku anak tersebut ditentukan. 
 Adanya masa perkembangan yang  panjang memungkinkan manusia memperkaya 
diri,   tetapi kadang-kadang terjadi  interupsi yang menimbulkan 
ketidakseimbangan dan maladaptasi.  Pada individu  tertentu yang peka 
terhadap interupsi ini dapat terjadi keadaan yang berakibat  lanjut 
menjadi kelainan psikiatris.  Ada  masa-masa tertentu dimana anak banyak
 yang dibawa ke klinik bimbingan anak  berkaitan dengan perubahan 
pertumbuhan fisis,   cara berfikir dan proses  memasuki suatu system 
pendidikan baru. 
Kesimpulan yang tegas  mengenai sebab dari suatu kelainan 
tingkahlaku tidaklah mudah.  Setiap kelainan  tingkahlaku dapat dicari 
sebabnya dari dalam diri anak maupun dari dalam  lingkungannya. Adanya 
risiko tinggi dari kedua unsure tersebut,   memudahkan  timbulnya 
kealinan tingkahlaku.  Suatu kelainan tingkahlaku hendaknya ditinjau  
dari sudut interaksi antara anak dengan lingkungannya. Anak pada taraf  
perkembangan yang berbeda dengan jenis masalah yang berbeda,   
memerlukan pengertian  dan penanganan yang khas dan sebagia orangtua 
hendaknya tidak hanya memberikan  label  kelainan tingkahlaku secara 
umum  untuk semua pada segala tahap   perkembangannya. 
Dengan mengenal  5 hal yang dapat mengandung risiko tinggi  untuk
 terjadinya kelainan tingkahlaku,  diharapkan pengertian yang luas 
masalah  yang dihadapi anak maupun lingkungannya dan mengusahakan agar 
anak dan  lingkungannya berada dalam pertumbuhan dan perkembangan yang 
sehat. 
 (dr. Meti  Dewi Astuti)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus