KAIDAH UNTUK MENJAGA KELANGSUNGAN MASYARAKAT ISLAM
Sepotong Kata | Edisi : 55/VII/Maret/2012
penulis : Redaksi
penulis : Redaksi
Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabb kalian, Islam
sebagai Dien kalian, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul kalian,
ketahuilah bahwasanya Allah telah menurunkan dalam al Qur’anul Karim :
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan
yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang beriman, bagi mereka
adzab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui. Sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepada kamu semua. (niscaya kamu akan ditimpa adzab yang
besar). Dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan.
Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan maka sesungguhnya setan
itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.
Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari
perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah
membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (An Nuur 19-21).
Beberapa ayat yang mubarak dari surat An Nuur yang turun
selepas hadits Ifqi (kabar bohong yang menuduh Aisyah ra berzina), yang
terjadi pada Ghazwah al Marisi’. Turun pada tahun kelima hijrah,
menurut pendapat yang lebih kuat, sebelum perang Ahzab.
Ayat-ayat tersebut menerangkan satu rangkaian kejadian, yakni;
membebaskan Sayyidah ‘Aisyah dari tuduhan keji yang dilemparkan
kepadanya.
Ayat-ayat diatas membicarakan tentang kaidah sosial, bagian dari
hukum-hukum yang berjakan dalam suatu masyarakat. Islam benar-benar
sangat menjaganya. Kaidah tersebut mengatakan bahwa tersebarnya berita
baik dalam masyarakat, akan menjadi pendorong bagi masyarakat untuk
mengikuti dan meneladaninya serta mengamalkan kebaikan tersebut. Namun
sebaliknya tersebarnya berita negative dalam suatu masyarakat akan
dapat melemahkan atau membuat merosot moral, mengendurkan semangat,
melemahkan tekad dan membuat perbuatan keji dan maksiyat menjadi mudah
serta gampang menular.
Ayat diatas membicarakan orang-orang yang turut andil dalam
menyebarkan tuduhan bohong tersebut, bahwasanya mereka akan mendapat
siksaan yang pedih di dunia dan di akhirat. Berita dahsyat yang
hampir-hampir jika Allah tidak menurunkan dari langit ayat yang
menyatakan kebersihan ‘Aisyah, menggoncangkan seluruh masyarakat Islam.
Bagaimana tidak? Kalau berita tersebut merupakan tuduhan terhadap
pimpinan dakwah, Nabi saw, atas harta milik paling berharga yang ia
miliki dan kehormatan yang selalu ia jaga. Dan berita itu juga telah
menuduh tangan kanannya Abu Bakar Ash Shiddiq, yang mana tak seorangpun
mendahului keislamannya, untuk berkorban terhadap Dien ini dengan
putrinya Ash Shidiqah binti Ash Shiddiq. Karena dahsyatnya kepahitan
yang dirasakannya, sampai-sampai ia mengatakan, “Demi Allah, saya belum
pernah mendapat tuduhan seperti itu di masa jahiliyah, maka apakah
kita rela diperlakukan seperti ini di masa Islam?”
Yang melemparkan tuduhan pada diri ‘Aisyah termasuk pula salah
seorang pengikut perang Badar. Termasuk didalamnya orang yang
mengarungi perjalanan bersama Rasulullah saw dalam situasi sulit pada
perang Badar. Ia melakukan pengkhianatan dengan melemparkan tuduhan
terhadap Nabinya pada sesuatu yang paling berharga yang ia miliki.
Sampai-sampai Shafwan bin Al Mu’aththal mengatakan, “Subhanallah!! Demi
Allah saya sama sekali tidak membuka tirai sekedup yang membawa
‘Aisyah, bagaimana mereka bisa menuduh istri Nabinya dan mencemarkan
pribadi pimpinannya dan kecintaannya? Itu adalah tindakan pengkhianatan
terhadap Diennya, kenabiannya, sahabat-sahabat dan perjalanan
dakwahnya!”
Rasulullah saw sebagai pemimpin perjalanan, nabinya umat Islam,
yang mana Allah mempersatukan kaum muslimin di Madinah melalui
tangannya, antara golongan Khazraj dan Aus; apa yang beliau perbuat?
Beliau bertanya kepada Zaid, bertanya kepada pelayan perempuan “Aisyah,
bertanya kepada Ali dan bertanya kepada ‘Aisyah sendiri.
Sebagaimana
hal tersebut dituturkan oleh “Aisyah saat ia menceritakan tentang
dirinya:
“Rasulullah saw mengunjungiku bersama ayah dan ibuku. Beliau
bertanya, “Hai ‘Aisyah, jika memang benar-benar bebas dari tuduhan,
maka Allah pasti akan membebaskanmu dari segala tuduhan itu. Dan jika
engkau memang berbuat, maka istighfarlah kepada Allah dan
bertaubatlah.” Maka akupun memohon kepada ayahku untuk menjawabnya.
Namun ia hanya bisa berkata,”Apa yang bisa aku katakan, demi Allah aku
tak tahu apa yang harus aku katakana kepada Rasulullah saw.” Kepedihan
yang ia rasakan hampir-hampir membuat kelu lidahnya. Lalu aku memohon
kepada ibuku untuk menjawabnya, ia hanya bisa berkata, “Apa yang bisa
katakana? Demi Allah, aku tak tahu apa yang harus aku katakan kepada
Rasulullah saw. Tapi putriku, jangan engkau ambil berat, sesungguhnya
tak seorang wanita cantikpun dalam sebuah rumah melainkan tentu ia akan
mendapatkan hal-hal yang menyakitkannya.” Demi Allah, akupun jadi
teringat nama Ya’qub as. Aku teringat akan Ya’qub lantaran besarnya
rasa kepedihan dan kedukaan yang aku rasakan. Maka akupun berkata,”Demi
Allah, yang bisa aku katakan kepada kalian adalah sebagaimana
kata-kata bapaknya Yusuf : Maka kesabaran yang baik itulah kesabaranku.
Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu
ceritakan.”
Dalam ketegangan situasi yang melingkupi kota Madinah dan dalam
suasana gelap serta suram yang meliputi kaum muslimin, maka
bergeraklah orang-orang munafik memanfaatkan kesempatan tersebut. Mereka
menggerakkan roda peperangan melawan Rasulullah saw, di bawah pimpinan
pemuka mereka Abdullah bin Ubay bin Salul.
Maka berdirilah Rasulullah di atas mimbar dan berkata, “Wahai
manusia, siapakah yang bersedia membelaku dari seseorang yang telah
mencemarkan kehormatan istriku?” Maka berdirilah Sa’ad bin Mu’adz dan
berseru, “Ya Rasulullah, jika mereka dari golongan Aus, kami siap
membelamu dan membunuh mereka. Dan jika mereka dari golongan Khazraj,
maka perintahkanlah kami bertindak menurut kehendakmu. “ (Abdullah bin
Ubay yang memimpin persekongkolan jahat tersebut adalah dari golongan
Khazraj).
Sa’ad bin Ubadah berdiri, dia seorang yang shaleh namun saat itu
ia dihinggapi fanatisme terhadap kaumnya dan berkata lantang,”Engkau
dusta, jangan engkau sentuh mereka.” Ucapan Sa’ad bin Ubadah disambut
oleh Usaid bin Hudhair dari golongan Aus, sepupu Sa’ad bin Mu’adz,
“Engkau yang dusta. Engkau seorang munafik dan membela orang-orang
munafik.” Maka kemudian terjadilah kegaduhan di dalam masjid. Lalu
Rasulullah saw turun dari mimbar. Hampir saja mereka berbunuh-bunuhan
di dalam masjid yakni antara kaum Aus dan Khazraj.
Dalam pada itu ‘Aisyah sendiri hanyut dalam suasana kesedihan.
Ia menuturkan keadaannya waktu itu, “Demi Allah, aku menangis sepanjang
hari. Air mataku mengalir dan tidak pernah henti. Ketika aku menangis,
sementara Rasulullah saw, ayah dan ibuku berada di sampingku, turunlah
wahyu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw berdiri ketika telah
hilang rasa payahnya saat menerima wahyu. Beliau berkata,”Wahai “Aisyah
bergembiralah!” Atau sebagaimana sabdanya,”Telah turun wahyu dari
langit, menyatakan kebersihanmu dari segala tuduhan.”
Peristiwa itu terjadi di rumah qiyadah, di rumah nabi. Dimana
dalam kasus tersebut melibatkan pula orang-orang shaleh dan orang-orang
yang jahat. Beberapa orang pahlawan perang Badar turut terlibat di
dalamnya. Diantara mereka terdapat pula orang terdekat Abu Bakar, yang
biasa ia santuni, yakni; Misthah bin Utsatsah. Juga Hamnah binti Jahsy,
saudari Zainab binti Jahsy, dan Hasan bin Tasbit.
Kaidah Rabbani dalam kamus kehidupan masyarakat: “Sesungguhnya
orang-orang yang suka agar (berita) perbuatan yang amat keji itu
tersiar di kalangan orang-orang beriman, maka bagi mereka adzab yang
pedih di dunia dan di akhirat.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar