Ruang Kosong Pondok Pesantren
Berbicara tentang pondok pesantren tiba-tiba terngiang lirik qasidah kota santri. "Suasana
di kota santri, asik senangkan hati. Suasana di kota santri, asik
senangkan hati. Tiap pagi dan sore hari, muda-mudi berbusana rapi, hilir
mudik silih berganti, pulang pergi mengaji. Duhai Ayah Ibu berikanlah
izin daku untuk menuntut ilmu pergi ke rumah guru, mondok di kota
santri banyak Ulama Kiai tumpuan orang mengaji, mengkaji ilmu agama
bermanfaat di dunia menuju hidup bahagia sampai akhir masa."
Penggambaran yang begitu apik, terbayang suasana religius pondok
pesantren yang menyejukkan hati, santri berbondong-bondong riang menuju
majelis ilmu, berdiskusi, mengaji dan saling menyimak hafalan al
qur'an masing-masing. Seindah itu kah suasana disana ?
Menelusur Jejak Awal Ponpes
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang berfungsi
sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah, dan
pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Menurut pengertian
dasarnya, pesantren adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok
berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu.
Di samping itu, kata "pondok" juga berasal dari bahasa Arab "funduq"
yang berarti "hotel atau asrama". Dari penggalan tersebut, pondok
pesantren bisa diartikan sebagai tempat tinggal/asrama
santri/murid-murid belajar ilmu agama. Adapun sejarah berdirinya pondok
pesantren, berdasarkan beberapa sumber yang ada mengatakan bahwa
pesantren sebagai pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang
seiring dengan masuknya Islam di Indonesia.
Berdirinya pesantren pada mulanya juga diprakarsai oleh Wali
Songo-Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang berasal dari Gujarat India.
Para Wali Songo tidak begitu kesulitan untuk mendirikan pesantren
karena sebelumnya sudah ada institusi pendidikan Hindu-Budha dengan
sistem biara dan asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi para
bikshu dan pendeta di Indonesia. Pada masa perkembangan Islam, biara
dan asrama tersebut tidak berubah bentuk akan tetapi isinya berubah
dari ajaran Hindu dan Budha diganti dengan ajaran Islam, yang kemudian
dijadikan dasar peletak berdirinya pesantren. Selanjutnya pesantren
digunakan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran Islam kepada
masyarakat Jawa. Sunan Bonang mendirikan pesantren di Tuban, Sunan
Ampel mendirikan pesantren di Ampel Surabaya dan Sunan Giri mendirikan
pesantren di Sidomukti yang kemudian tempat ini lebih dikenal dengan
sebutan Giri Kedaton.
Zaman kerajaan islam, Pondok Pesantren mendapat bantuan sepenuhnya
dari raja dan para pembesar kerajaan. Bahkan raja sendiri yang
mempelopori usaha-usaha untuk memajukannya. Terlebih saat pusat
kerajaan Islam berpindah ke Mataram dan dipimpin oleh Sultan Agung,
perhatian untuk memajukan Pondok Pesantren semakin besar. Dalam usahanya
memakmurkan masjid, Sultan Agung memerintahkan agar setiap ibu kota
Kabupaten didirikan sebuah masjid raya (Masjid Agung), dan pada
tiap-tiap ibu kota distrik sebuah masjid Kawedanan. Demikian pula pada
tiap-tiap desa. Dengan demikian, perhatian Sultan Agung dalam bidang
pendidikan agama Islam cukup besar, sehingga pada masa kerajaan Mataram
yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung bisa dikatakan sebagai zaman
keemasan bagi kemajuan pendidikan dan pengajaran agama Islam, terutama
Pondok Pesantren.
Pada zaman penjajahan Belanda, dengan berbagai cara Penjajah berusaha
untuk mendiskreditkan pendidikan Islam yang dikelola oleh pribumi
termasuk didalamnya Pesantren. Sebab pemerintah colonial mendirikan
lembaga pendidikan dengan sistem yang berlaku di barat pada waktu itu,
namun hal ini hanya diperuntukkan bagi golongan elit dari masyarakat
Indonesia. Sebagian besar sekolah colonial diarahkan pada pembentukan
masyarakat elit yang akan digunakan untuk mempertahankan supremasi
politik dan ekonomi bagi Pemerintah Belanda. Meskipun harus bersaing
dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Belanda,
pesantren terus berkembang jumlahnya. Persaingan yang terjadi bukan
hanya dari segi ideologis dan cita-cita pendidikan saja, melainkan juga
muncul dalam bentuk perlawanan politis dan bahkan secara fisik. Hampir
semua perlawanan fisik (peperangan) melawan pemerintah colonial pada
abad ke-19 bersumber atau paling tidak mendapatkan dukungan sepenuhnya
dari pesantren, seperti perang paderi, Diponegoro dan Perang Banjar.
Menghadapi kenyataan demikian menyebabkan pemerintah Belanda diakhir
abad ke-19 mencurigai eksistensi pesantren, yang mereka anggap sebagai
sumber perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1882 Belanda
mendirikan Priesterreden (pengadilan agama) yang salah satu tugasnya mengawasi pendidikan di pesantren. Kemudian dikeluarkan Ordonansi
(undang-undang) tahun 1905 mengenai pengawasan terhadap peguruan yang
hanya mengajarkan agama (pesantren), dan guru-guru yang mengajar harus
mendapatkan izin pemerintah setempat.
Di era kemerdekaan sampai sekarang, pesantren turut aktif mengisi
kemerdekaan dan pembangunan, terutama dalam rangka pengembangan sumber
daya manusia yang berkualitas. Berbagai inovasi telah dilakukan untuk
pengembangan pesantren baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Masuknya
pengetahuan umum dan keterampilan ke dalam dunia pesantren merupakan
upaya untuk memberikan bekal tambahan agar setelah lepas dari pondok
para santri bisa mandiri dan bermanfaat bagi masyarakat. Seiring dengan
bergulirnya alur modernisasi, tuntutan masyarakat global adalah
profesionalisme, penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi serta etos
kerja yang tinggi. Sayangnya, dari 25.000 jumlah pondok pesantren yang
ada di Indonesia, hanya sebagian kecil saja yang dilirik oleh
masyarakat. Kecenderungan orangtua masih pada sekolah umum negeri/swasta
yang lebih "menjanjikan".
Realita Saat Ini
Dibandingkan lembaga pendidikan lain, pondok pesantren dinilai memiliki
masalah paling kompleks. Hal ini dikarenakan pondok pesantren
bertanggung jawab atas diri murid selama 24 jam. Di samping itu, jika
sekolah umum lebih menitik beratkan pada target dan kegiatan akademik,
maka pondok pesantren menggarap tidak hanya aspek inteligensi, tetapi
juga fisik, karakter dan ruhiyah santri. Jumlah peserta didik yang
banyak, sementara tenaga pendidik sedikit dan ditambah lagi dengan
fasilitas kurang memadai serta manajemen yang belum mapan, membuat
proses belajar mengajar di pondok pesantren cenderung apa adanya.
Pendidikan sikap dan karakter yang seharusnya digarap pun menjadi
agenda terlewatkan. Alhasil, produk yang dihasilkan menjadi kurang
optimal. Santri mungkin hafal sekian juz, ratusan hadits, tau banyak
ilmu Din, rutin melakukan amalan wajib dan sunnah. Akan tetapi, jumlah
santri yang benar-benar menginternalisasi nilai-nilai yang sudah
diajarkan di pondok bisa dihitung dengan jari. Ketika terjun ke
masyarakat dengan banyak perbedaan disana-sini pun hanya sedikit saja
yang bisa beradaptasi dan bersosialisasi dengan baik. Dilihat dari sisi
skill juga kurang tergali.
Tentu kondisi yang telah disebutkan tadi tidak bisa digeneralisasikan
untuk semua pondok pesantren yang ada. Beberapa pesantren telah
menerapkan manajemen dan tata kelola sistem pendidikan yang baik,
sehingga menghasilkan tata kelola yang baik pula, dari mulai
perencanaan, proses implementasi, pengawasan, hingga evaluasi.
Hasilnya, sebagaimana dapat disaksikan, telah mendorong lembaga
pesantren "modern" dapat berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan
modern lainnya. Namun, jumlah pesantren yang sudah memperhatikan hal
ini baru 1/3 dari keseluruhan yang ada. Sementara 2/3 yang lain belum
optimal, ini berarti ada sekitar 3,2 juta santri yang diasumsikan belum
berada pada tempat yang dapat mengantarkannya menggapai "potensi" dan
"kompetensi" yang diharapkan.
Ragam Motif Orangtua Memilih
Saat ini banyak alternatif model pendidikan di luar pondok pesantren
yang bisa dipilih untuk anak-anak bahkan kualitasnya bisa dikatakan
jauh lebih baik, lantas mengapa masih ada orangtua yang memilih jalur
pondok pesantren ? Bahkan tidak sedikit pula orangtua yang mulai
memasukkan anaknya ke pondok sejak usia SD. Hal ini sebetulnya
menunjukkan bahwa pondok pesantren masih dipercaya oleh masyarakat
sebagai tempat yang baik untuk mendidik anak-anak mereka. Berikut ini
beberapa alasan orangtua memilih pondok pesantren sebagai tempat
pendidikan anak :
- Cita-cita orangtua ingin memiliki anak seorang ulama.
- Ingin membekali anak dengan ilmu Din, karena ilmu Din adalah pondasi dan hukumnya fardhu 'ain.
- Ingin supaya anak lebih mandiri. Dengan hidup berjauhan dengan orangtua, maka anak akan belajar mengurus keperluan dan kewajibannya sendiri.
- Lingkungan pondok pesantren lebih terjaga dari pengaruh negatif.
- Biaya pendidikan di pondok lebih terjangkau.
- Meringankan beban orangtua karena mungkin orangtua "kewalahan" mengurus anak-anaknya. Dengan memasukkan anak ke pondok berarti tanggung jawab pendidikan anak diserahkan kepada pihak pondok.
- Faktor eksternal atau pengaruh lingkungan. Banyak di lingkungan tersebut yang memilih pondok pesantren.
If Yes, Then How ?
Penulis yakin setiap orangtua ingin memberikan yang terbaik untuk
anak-anak mereka. Hanya saja masih sedikit dari orangtua yang mengajak
komunikasi anak-anaknya ketika memutuskan memilih pondok pesantren atau
dengan kata lain bukan atas dasar keinginan anak. Bahkan setelah anak
masuk pondok pun jarang sekali komunikasi. Alih-alih ingin membuat anak
mandiri, tetapi ternyata yang dirasakan oleh anak adalah "orangtuaku
tidak peduli padaku". Tidak heran, ketika anak pulang ke rumah banyak
orangtua yang mengeluhkan "anakku jadi cuek banget, ga peka". Orangtua
merasa tidak mengenali anaknya, anak pun asing dengan orangtuanya.
Hal penting yang senantiasa harus disadari oleh orangtua adalah
tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya menjadi kewajiban orangtua
dan tidak ada yang bisa menggantikan kasih sayang paling tulus kepada
anak kecuali orangtua. Melihat kondisi yang ada saat ini, orangtua
memang sudah selayaknya mempertimbangkan dengan bijaksana pilihan
pendidikan untuk anak. Jika memang pondok pesantren yang dinilai paling
tepat, maka ada 5 hal yang harus diperhatikan.
- Usia
Memang tidak ada aturan atau teori baku mengenai usia yang tepat
anak masuk pondok. Usia 6-12 tahun (SD) merupakan masa pertengahan dan
akhir anak-anak atau bisa dikatakan sebagai masa persiapan menuju
remaja. Masa-masa ini adalah masa paling efektif sekaligus lebih mudah
"diatur" daripada selama masa awal anak-anak dan masa remaja. Pada masa
remaja, penalaran anak-anak menjadi lebih canggih, dan mereka cenderung
kurang dapat menerima disiplin orangtua. Para remaja juga menuntut
kemandirian lebih tegas, yang menyebabkan sejumlah kesulitan bagi
orangtua. Oleh karena itu, sebenarnya fase pertengahan dan akhir
anak-anak merupakan kesempatan emas bagi orangtua untuk menerapkan
nilai-nilai agama, moral, disiplin dan kemandirian kepada anak.
Apalagi, perkembangan kognitif mereka juga sudah semakin matang sehingga
memungkinkan orangtua untuk mengajak diskusi dan bermusyawarah tentang
pengendalian perilaku, pelibatan anak-anak dalam pekerjaan sehari-hari
di rumah, cara menghibur diri mereka sendiri saat dihadapkan dengan
situasi yang tidak menyenangkan, serta interaksi sosial anak di luar
keluarga, di sekolah dan di sekitar teman sebaya. Singkatnya, di usia
6-12 ini adalah "jatahnya" orangtua membangun pondasi dan memberikan
bekal hidup sebanyak-banyaknya kepada anak, sebelum anak memasuki fase
yang lebih bergejolak-remaja.
Dari sisi perkembangan fisik, ketika anak-anak memasuki tahun-tahun
sekolah dasar, aktivitas fisik sangat penting bagi anak-anak ini untuk
memperhalus keterampilan-keterampilan mereka yang sedang berkembang,
seperti memukul bola, melompat tali, atau melakukan suatu gerak
keseimbangan di atas balok. Oleh karena itu, pada prinsipnya anak-anak
usia sekolah dasar harus terlibat secara aktif daripada pasif di dalam
kegiatan-kegiatan. Ada juga pendapat, anak-anak di bawah usia 12 tahun
gelombang otaknya harus dominan gelombang Alpha. Mereka harus lebih
banyak bermain, bergembira, dan belajar dengan cara yang menyenangkan
serta sering mendapat pelukan dari orang tuanya. Hal ini dikarenakan
anak-anak masih mudah depresi menghadapi lingkungannya, dan saat ini
terjadi ia harus mendapat pelukan dari orang tuanya.
Hal tersebut
sejalan dengan riset yang dilakukan University of Bologna di Italia
yang menyarankan orangtua untuk memberikan pelukan pada anak yang
sedang mengalami masalah dan depresi. Menurut hasil riset itu ternyata
pelukan lebih efektif ketimbang obat-obat antidepresi. Ini terlihat
pada anak-anak yang mengalami depresi dan diberikan obat anti depresan,
ternyata mereka memiliki kecenderungan untuk kembali depresi.
Hal
berbeda terjadi pada anak yang didampingi orangtuanya untuk melalui
periode depresi. Bahkan hanya dengan pelukan hangat dari kedua
orangtuanya, anak yang mengalami depresi bisa lebih percaya diri untuk
menyelesaikan masalah.
- Kemandirian
Di samping usia, hal yang tak kalah penting untuk dilihat dari
kesiapan anak masuk ke pondok adalah kemandirian. Minimal anak sudah
ada kesadaran untuk menjaga dan merawat diri serta barang-barang
miliknya. Jika orangtua melepas anak sebelum ia mandiri atau dengan
kata lain justru dimasukkan ke pondok dengan tujuan agar anak bisa
mandiri, maka ada 2 kemungkinan yang akan terjadi, anak berhasil dididik
menjadi mandiri atau malah sebaliknya.
- Jenis Kelamin
Tuntutan pada anak perempuan dan laki-laki jelas berbeda sejalan
dengan peran yang dimainkan pun nantinya berbeda. Dalam hal ini,
orangtua perlu memperjelas output yang diharapkan setelah anak lepas dari pondok. Tentunya disesuaikan dengan fitrah dan potensi masing-masing anak.
- Kondisi Pondok
Sebelum memutuskan anak hendak ke pondok mana, ada baiknya jika
orangtua mengajak atau minimal memberikan gambaran tentang kondisi
disana. Terkait dengan keadaan lingkungan fisik, hal yang perlu
diperhatikan adalah bersih, nyaman dan aman untuk anak. Selain itu,
orangtua juga perlu melihat sistem dan kegiatan yang ditawarkan pondok
tersebut sejalan atau tidak dengan harapan orangtua dan anak.
- Komunikasi
Orangtua sebaiknya menyampaikan kepada anak, nanti ketika sudah di
pondok orangtua akan menelfon setiap hari atau menjenguk per bulan
misalnya. Intensitas dan kualitas komunikasi sangat penting untuk
menunjukkan kepada anak bahwa orangtua peduli dan ingin mendengar
cerita seru/berbagi ilmu/hal tidak menyenangkan yang dialami anak. Di
samping itu juga orangtua bisa menceritakan kondisi di rumah atau
bahkan menyampaikan kalau anggota keluarga yang lain merindukannya. Hal
ini penting untuk disampaikan supaya ikatan emosional anak dengan
rumah tetap terjalin dan anak juga merasa keberadaannya dinantikan.
Mengisi Ruang Kosong
Pondok pesantren bisa dikatakan sebagai tolak ukur keberhasilan
pendidikan islam. Tujuan mulia didirikannya pondok pesantren akan cepat
terwujud apabila dikelola dengan manajemen yang baik. Basis
pengelolaan pondok tentunya harus memperhatikan pula aspek psikologis
santri sebagai objek pendidikan. Sisi inilah yang selama ini agaknya
kurang diperhatikan oleh pondok pesantren. Hal-hal yang berkaitan
dengan psikis santri itu antara lain :
- Sosok "pengganti" orangtua
Ketika anak masuk ke pondok, maka secara otomatis waktu yang
seharusnya dihabiskan bersama keluarga menjadi berkurang banyak. Oleh
karenanya, penting sekali disana untuk menciptakan suasana
kekeluargaan. Hal ini akan terkait dengan sistem kamar. Akan lebih baik
jika 1 kamar maksimal terdiri dari 10 santri, dengan 1 pengasuh, dan
dibuat campur dari berbagai tingkat supaya tercipta suasana kakak-adik.
Peran pengasuh kamar tidak hanya sekedar mengevaluasi kegiatan santri,
tetapi yang lebih dibutuhkan adalah "menggantikan" kasih sayang
orangtua. Maka, sudah selayaknya yang menempati posisi pengasuh ini
mapan secara emosi, bijaksana dan paham karakter anak. Pengasuh bersama
santri bermusyawarah tentang kebijakan kamar dan pembagian tugas
masing-masing anak. Agenda sharing dan menjaga kekompakan
kamar pun sudah selayaknya rutin dilaksanakan. Hal yang tidak kalah
penting adalah evaluasi sikap dan perilaku santri, sehingga jika ada
perilaku santri yang tidak sesuai bisa segera ditangani.
- Hubungan antar santri
Hal yang pasti akan terjadi dalam kelompok adalah kecenderungan
dekat hanya dengan teman yang cocok saja. Kecenderungan ini akan
memunculkan kelompok kecil dalam kelompok besar atau yang biasa disebut
dengan geng. Dalam hal ini, pengasuh perlu jeli melihat siapa dekat
dengan siapa dan sejauh mana kedekatan mereka. Untuk itu, akan lebih
baik jika diadakan rolling kamar per periode 1 semester
misalnya, juga pembagian tugas kelompok yang anggotanya ditentukan
pengasuh. Hal ini disamping untuk melatih kebersamaan dan membiasakan
santri bersosialisasi dengan karakter yang berbeda-beda, juga untuk
mencegah terjadinya penyimpangan menyukai sesama jenis.
- Kesempatan aktualisasi diri
Kebutuhan umat islam saat ini tidak hanya generasi yang paham ilmu Din, tetapi juga memiliki skill,
menguasai teknologi dan profesionalitas. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya pondok pesantren juga menyediakan wadah bagi para santri
untuk mengembangkan potensi dan bakat yang dimiliki. Memberikan
kesempatan kepada santri untuk mengikuti lomba yang terkait dengan
bidang yang ia kuasai juga merupakan sarana bagi santri untuk
aktualisasi diri serta mengembangkan ilmunya.
- Komunikasi dengan orangtua
Kerjasama yang baik antara pihak pondok dengan orangtua dimulai dari
komunikasi. Pihak pondok perlu untuk mengetahui riwayat anak selama di
rumah dan harapan orangtua. Orangtua juga berhak bahkan wajib untuk
mengetahui perkembangan anak selama di pondok, kebijakan dan tindakan
yang diambil ketika anak mengalami masalah.
- Reward dan Punishment
Setiap anak berhak untuk mendapatkan reward/penghargaan ketika perilakunya sesuai dengan yang diharapkan. Tentu bentuk reward
ini tidak harus selalu berupa barang/materi, sekedar pujian, anggukan
atau senyuman yang tulus itu sudah cukup bagi anak untuk merasa
usahanya dihargai. Sama halnya ketika anak melakukan kekeliruan baik
tidak sengaja atau pun disengaja, maka anak juga berhak mendapatkan punishment/hukuman. Seperti halnya reward, pemberian punishment juga beragam disesuaikan dengan psikologis anak.
Melihat kebutuhan psikologis santri yang sudah disebutkan di atas,
ternyata memang penting bagi tenaga pendidik untuk senantiasa mengupdate
pengetahuan tentang psikologi anak dan meningkatkan kemampuan dalam
menghadapi karakter anak yang beragam. Metode pengajaran pondok
pesantren yang terkesan klasikal pun sebaiknya mulai diperbaharui
supaya santri benar-benar menikmati proses belajar mengajar, serta ilmu
yang didapatkan juga bisa diinternalisasi/dihayati dengan baik. Pihak
pondok juga sebaiknya memiliki standar kualitas untuk semua elemen
pendidik, pengasuh dan karyawan, tidak hanya mencakup pemahaman Din,
tetapi juga pribadi.
Di samping itu, pengelola pondok sudah selayaknya
memperhatikan kesejahteraan semua pendidik, pengasuh, dan karyawan
supaya masing-masing bisa fokus dengan tanggung jawab dan perannya di
pondok. Kondisi di lapangan mungkin memang tidak mudah untuk mewujudkan
pondok pesantren yang ideal, tetapi akan sayang sekali apabila potensi
jumlah generasi muslim sebanyak 3,2 juta ini jika tidak digali dengan
manajemen yang baik. InsyaAllah, niat baik pasti akan diberi kemudahan
dari jalan yang tidak disangka-sangka.Wallahu'alam. (Deti Annisa Jayanti, S.Psi)
Majalah Hilal Ahmar | 63/IX/FEB2013 | Sehat mental
Tidak ada komentar:
Posting Komentar