KESENJANGAN
Orang yang mencermati dunia kita sekarang, pasti melihat banyak orang yang menyuruh orang lain berdiri di belakangnya sembari memegang kerah bajunya seraya berkata, “Diriku, diriku! Kemenangan milikku, bukan milik orang lain!” Demam kompetisi serta perlombaan terjadi dalam segala lini dan disetiap level masyarakat guna mendapatkan materi. Diantara mereka, siapakah yang paling banyak mengumpulkan materi?
Demi mewujudkan hal itu, timbullah kezaliman, kebohongan, penipuan, kedengkian, dan permusuhan. Harta benda dirampas dan hak-hak manusia dinodai demi kenikmatan yang akan sirna.
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengharamkan usaha untuk mencari rezki, namun Dia justru menganjurkannya. Akan tetapi, Allah menyeru semua itu dengan, “Berjalanlah” dan “Carilah”.
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(Al-Jumu’ah : 10).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
(Al-Jumu’ah : 10).
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kami, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15).
Dia tidak berfirman “Bekerja keraslah” atau “Berlomba-lombalah”.
Akan tetapi, ketika Dia memberi isyarat kepada urusan akhirat dan usaha untuk mencari surga. Dia menyeru kepadanya dengan, “Bergegaslah” dan “Berlomba-lombalah”
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(Ali Imran 133).
(Ali Imran 133).
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menunjukkan kepada kita arena yang paling bagus untuk berkompetisi secara sehat dan tujuan yang tidak menimbulkan penganiayaan, dosa, permusuhan, dan kebencian.
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada di dalam kenikmatan yang besar (surga), mererka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum khamr murni yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi, dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (Al Muthaffifin : 22-26).
Demi Allah, ini adalah arena kompetisi yang benar. Diantara anugerah Allah ialah Dia telah memudahkan kompetisi ini bagi orang yang menginginkannya pada masa sekarang. Para salafussholeh berkompetisi dan bergegas untuk mendapatkan surga dengan melakukan berbagai ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah. Orang yang ingin mengikuti jejak mereka harus menyisingkan lengan baju dan segera berangkat. Kalau tidak, ia akan tertinggal dari rombongan mereka. Namun sekarang, orang-orang berjalan perlahan-lahan untuk mendapatkannya. Jika mau berjalan sedikit lebih cepat dari mereka, anda akan mendahului sendirian di depan.
Sementara itu, persaingan dalam urusan dunia merupakan sesuatu yang tak dianjurkan. Rezeki manusia di dunia telah ditentukan sebelum ia dilahirkan. Walaupun ia berusaha beekrja keras di dunia seperti binatang buas yang kesana kemari supaya memperoleh tambahan, niscaya ia tak akan mendapatkan kecuali yang telah ia tetapkan. Ia tidak akan menuai hasil kerja kerasnya melainkan kelelahan dan kepayahan.
Sungguh, kita bekerja keras mencari apa yang dijamin bagi kita, yakni rezeki, dan meninggalkan apa yang tidak dijamin bagi kita yang seolah-olah kita tidak pernah membutuhkannya, yakni surga.
Ini menunjukkan kekurangan keimanan kita. Sebab, seorang hamba merasa yakin bahwa pekerjaannya ialah sumber rezekinya, sehingga ia tidak akan mengembalikannya kepada Allah, meskipun ia mempercayainya dengan ucapan dan bukan dengan perbuatannya.
“Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah; “Kamu belum beriman, tapi katakanlah, “kami telah tunduk”, Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu
” (Al Hujurat 14).
Seperti itulah iman umumnya kaum muslimin. Mereka adalah orang-orang beriman, tetapi masuknya hakikat keimanan ke dalam qalbu berlangsung sedikit demi sedikit, jika Allah memberikannya kepada mereka. Kalau tidak, sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam dalam Al Iman, iman mereka tidak sampai pada keyakinan. Apabila mereka dibuat ragu dalam permasalahan-permasalahan Islam, mereka akan menjadi ragu. Apabila mereka diperintah berjihad, mereka tidak akan berjihad. Mereka bukan orang-orang kafir dan munafik. Akan tetapi, mereka ialah orang yang tidak memiliki pengetahuan qalbu dan kepercayaan terhadap-Nya yang bisa menghilangkan keraguan.
Selain itu, mereka juga tidak mempunyai kekuatan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang mereka curahkan kepada keluarga dan harta benda. seandainya Allah tidak menguji dengan dengan perkara-perkara yang bisa membersihkan qalbu mereka yang menunjukkan kesabaran dan keteguhan, lalu mereka meninggal, niscaya mereka akan masuk surga. Namun, apabila mereka diuji, kemudian muncul keraguan pada diri mereka dan mereka mati dalam keadaan ragu dan beralih kepada jenis kemunafikan. Hanya Allah tempat memohon perlindungan.
Singkat kata, ketika seorang hamba yakin kepada sebab-sebab dan keyakinan kepada manfaat sebab-sebab tadi cukup kuat, Allah akan membuatnya pasrah kepada-Nya sesuai dengan kuatnya keyakinan terhadapnya.
(Sumber : Rumus Masuk Surga, dr. Abdullah Bahjat, Iman Kurdi, Aqwam, Solo, 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar